REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Usulan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) agar negara membiayai 50 persen keuangan partai politik dinilai justru membuka celah korupsi. Hal ini menurut, Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus lantaran tata kelola keuangan partai politik saat ini masih tertutup
"Saya kira patut dikritisi dan untuk sementara wacana itu harus ditolak. Kalau tata kelola keuangan partai masih tertutup tidak menutup kemungkinan dana sebesar itu akan kembali dikorupsi," kata Lucius usai hadir dalam diskusi pendanaan partai politik di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Senin (21/11).
Mennurut dia, jika wacana pembiayaan 50 persen keuangan parpol itu akan diwujudkan maka terlebih dahulu mengubah undang-undang partai politik terkait tata kelola keuangan parpol.
"Di sana harus jelas diatur agenda apa saja yang digunakan dari APBN. Kemudian harus ada sanksi keras apabila ketika tidak bisa mempertanggungjawabkan anggaran tersebut dan atau terjadi korupsi," kata dia.
Jika tidak, dikhawatirkan akan disalahgunakan oleh pengurus partai. "Kalau ada partai yang melakukan itu semua, maka sanksinya harus tegas seperti mendiskualifikasi parpol di pemilu selanjutnya," kata dia.
Diketahui sebelumnya, kajian KPK mengusulkan agar Pemerintah membiayai 50 persen pendanaan keuangan partai politik. "Kajian kita agar pembiayaan parpol oleh parpol 50 persen, negara 50 persen, karena sekarang kan negara itu 0,01 persen, parpol 99,9 persen, itu yang mau digeser," ujar Deputi Bidang Pencegahan KPK, Pahala Nainggolan.
Ia mengumumkan hasil hitungan kajian KPK untuk pembiayaan real 10 parpol di Indonesia yang menemukan angka pembiayaan Rp 9,3 triliun. Angka tersebut terdiri dari komponen besar yakni 25 persen untuk penyelenggaraan organisasi, dan 75 persen untuk pendidikan politik.
Dengan perkiraan Rp 2,6 triliun untuk di pusat, Rp 2,5 triliun untuk di provinsi dan tingkat kabupaten mencapai Rp 4,1 triliun. "Dari Rp 9,3 triliun ini partai menanggung setengahnya Rp 4,7 triliun, dan negara menanggung setengahnya Rp 4,7 triliun kira-kira," kata Pahala.