REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam beberapa pekan terakhir, Presiden Joko Widodo terus melakukan komunikasi politik dengan sejumlah pihak, mulai dari ulama sampai pimpinan partai politik. Namun begitu, ia menolak jika disebut komunikasi tersebut dilakukan sebagai bentuk kekhawatiran akan adanya isu penjegalan terhadap pemerintah.
"Tidak ada (kekhawatiran), kita ini kan produk demokrasi yang konstitusional, ya biasa-biasa saja," ujar Presiden, usai melakukan pertemuan dengan Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, di Istana Merdeka, Selasa (22/11).
Adapun soal konsolidasi internal ke markas-markas pasukan TNI-Polri, Presiden mengatakan hal itu dilakukan untuk meyakinkan masyarakat bahwa negara dalam keadaan yang aman. Dalam kesempatan yang sama, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh menyatakan partainya tak akan tinggal diam jika ada gerakan di masyarakat yang berusaha menjegal pemerintah.
Surya Paloh menegaskan, Nasdem akan melawan gerakan tersebut karena mereka tak ingin ada gonjang-ganjing yang menganggu jalannya demokrasi di Indonesia. "Masa jabatan beliau (Presiden) masih panjang, masa sudah ada keinginan menjatuhkan pemerintah. Kalau itu yang terjadi sudah pasti saya harus lawan," ujarnya.
Sebelumnya, Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian mengaku telah mendapat laporan adanya rapat-rapat bermuatan politis jelang aksi massa 2 Desember. Rapat tersebut merencanakan gerakan untuk menguasai gedung MPR-DPR RI di Senayan. Mengenai hal itu, Presiden Joko Widodo meminta TNI dan Polri untuk terus waspada.
"Itu tugasnya Polri dan TNI untuk tetap waspada pada hal-hal yang membahayakan NKRI dan demokrasi kita," ujar Presiden di Istana Merdeka, Senin (21/11).