REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki mencela rancangan undang-undang yang sedang dibahas di parlemen Israel untuk membatasi volume azan di masjid, Senin (21/11). Turki menyebutnya sebagai "tidak bisa diterima" dan "penghinaan."
Sebelumnya, Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mendukung rancangan undang-undang tersebut, yang jika disetujui akan berlaku di seluruh Israel dan juga wilayah yang dicaplok, Jerusalem Timur, tempat lebih dari 300 ribu warga Palestina tinggal.
Wakil Perdana Menteri Turki Numan Kurtulmus mengatakan, bahwa selama berabad-abad suara azan, lonceng gereja, dan doa umat Yahudi berbaur di Yerusalem yang meliputi beragam agama. "Ini sesuatu yang tidak bisa dikompromikan," kata Kurtulmus, yang merupakan kepala juru bicara pemerintah, setelah rapat kabinet.
"Ini benar-benar tidak dapat diterima."
"Ini penghinaan terhadap budaya, masa lalu dan sejarah Yerusalem. Tidak masuk akal dan bertentangan dengan kebebasan beragama," katanya sebagaimana dikutip kantor berita AFP.
Rancangan undang-undang itu, semula menghadapi tentangan dari oposisi Yahudi ultra-Ortodoks, yang cemas ritual Yahudi juga bisa kena imbas. Namun kemudian dihidupkan kembali setelah berbagai upaya dilakukan untuk menghilangkan kekhawatiran mereka.
Ketentuan itu, katanya, dirancang untuk merespons keluhan warga mengenai kebisingan suara azan dari masjid. Namun teorinya, ketentuan itu, akan berlaku bagi semua lembaga keagamaan.
Hubungan antara Israel dan Turki terperosok ke titik terendah sepanjang sejarah pada 2010 setelah serangan Israel ke kapal Turki menewaskan 10 aktivis Turki yang menuju ke Gaza.
Namun, kedua belah pihak berusaha memulihkan kerja sama ke tingkat semula dan mengadakan pembicaraan mengenai pembangunan proyek jaringan pipa ambisius untuk memompa gas Israel ke Turki dan Eropa.
Awal tahun ini Israel dan Turki akhirnya memperbaiki hubungan yang selama satu tahun mengalami krisis dengan menunjuk duta besar, tapi potensi ketegangan antara kedua negara masih cukup besar.