REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Arsitektur masjid bersejarah di tanah Jawa dan Nusantara berkembang sangat dinamis, seiring dengan perkembangan pengetahuan masyarakat. Demikian halnya dengan arsitektur Masjid Sunan Ampel.
Konteks masa pendiriannya menentukan corak dan bentuk bangunan. Selain itu, menyiratkan juga ajaran luhur bagi masyarakat. Inti dari ajaran Islam, seperti rukun iman dan rukun Islam, melekat erat dalam setiap bentuk bangunan yang berunsur lokal dan luar.
Masjid Sunan Ampel secara apik mengadaptasikan nilai-nilai Islam ke dalam arsitektur Jawa. Gapuro (pintu gerbang), misalnya, yang konon berasal dari kata Arab ghafura yang berarti ampunan, dibangun di area masjid untuk mengingatkan setiap Muslim agar memohon ampunan sebelum memasuki kawasan suci dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Lima gapura yang ada di sekelilingnya merefleksikan inti ajaran agama Islam. Bilangan lima menyimbolkan jumlah rukun Islam. Di sebelah selatan adalah gapura pertama yang bernama Gapuro Munggah. Munggah berarti naik. Dinamakan demikian karena gapura ini menyimbolkan rukun Islam yang kelima, yaitu haji. Dalam tradisi Jawa, orang yang naik haji dikatakan munggah kaji.
Masih di sebelah selatan masjid, terdapat gapura kedua yang bernama Gapuro Poso (puasa). Gapura ini secara implisit mengajarkan umat Muslim menunaikan puasa, baik yang wajib maupun sunah. Ada juga, Gapura Ngamal (beramal) yang menyimbolkan pentingnya beramal bagi umat Islam untuk membantu sesama Muslim yang membutuhkan.
Di sebelah barat masjid terdapat Gapuro Madep. Madep berarti menghadap, yaitu menghadap ke arah kiblat ketika mendirikan shalat. Gapura yang terakhir adalah Gapuro Paneksan (kesaksian), yang berarti kesaksian bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan Muhammad SAW adalah utusan Allah.
Cukup menarik apabila melihat posisi masjid di tengah lima gapura, sebagai pusat ibadah serta simbol kesucian, tempat umat Muslim menyembah, memuji, menyucikan, dan mendekatkan diri kepada Allah. Kelima gapura yang mengelilingi masjid menegaskan bahwa umat Muslim haruslah melaksanakan rukun Islam secara sempurna untuk dapat mendekatkan diri kepada Yang Mahakuasa.
Masjid Sunan Ampel didirikan pada tahun 1412 M oleh Sayyid Ali Rahmatullah atau yang dikenal dengan Sunan Ampel. Menurut riwayat, dalam mendirikan masjid itu, Sunan Ampel dibantu oleh santri-santrinya dan dua sahabatnya, yaitu Mbah Sholeh dan Mbah Sonhaji (Mbah Bolong). Banyak cerita mistis seputar dua orang sahabat Sunan Ampel itu.
Abdul Baqir Zein dalam bukunya Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia mengungkapkan, Mbah Sholeh meninggal dunia hingga delapan kali. Setiap kali ia meninggal dunia dan namanya disebut oleh Sunan Ampel, Mbah Sholeh bangkit kembali dari kuburnya. Peristiwa itu terulang hingga delapan kali sehingga kuburannya pun berjumlah delapan.
Demikian juga, dengan Mbah Sonhaji yang bergelar Mbah Bolong. Gelar tersebut disematkan kepadanya karena mampu melihat Ka'bah dari mihrab masjid yang sengaja di-bolong-i (dilobangi) dengan tongkat kayunya untuk menentukan ketepatan arah kiblat.