REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Produksi kakao yang melimpah di Indonesia belum didukung secara baik oleh industri hilir. Minimnya industri tersebut membuat kakao masih banyak diimpor ke negara penghasil produk olahan kakao.
Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian Panggah Susanto mengatakan, pihaknya telah bekomitmen memacu pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao di dalam negeri karena akan meningkatkan nilai tambah, struktur industri, dan kesejahteraan masyarakat.
”Pengembangan hilirisasi industri pengolahan kakao diarahkan untuk menghasilkan bubuk coklat, lemak coklat, makanan dan minuman dari coklat, serta suplemen dan pangan fungsional berbasis kakao," kata Panggah ada Peringatan Hari Kakao Indonesia ke-4 (Cocoa Day Expo 2016), Selasa (22/11).
Menurut Panggah, peluang manis dari hiliriasi industri masih tinggi didukung potensi Indonesia sebagai produsen biji kakao terbesar ketiga di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana, dengan jumlah produksi biji kakao mencapai 370 ribu ton pada 2015. Dengan kondisi tersebut, pemerintah mendorong hilirisasi industri berbasis kakao melalui pembentukan unit-unit pengolahan di sentra biji kakao yang bertujuan untuk menumbuhkan para wirausaha baru skala kecil dan menengah.
Dalam rangka itu, Kemenperin memberikan bantuan mesin dan peralatan pengolahan kakao di daerah penghasil biji kakao sejak 2012 seperti di Sumatra Barat, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara.
Di sisi lain, lanjutnya, pemerintah juga telah mengeluarkan kebijakan bea keluar melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor 67 tahun 2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar. “Adanya kebijakan tersebut, pasokan kakao untuk industri di dalam negeri makin besar dan kami berharap agar ke depannya ekspor kakao olahan terus meningkat dengan kualitas yang makin baik,” paparnya.
Panggah menyampaikan, pemberlakuan bea keluar itu turut mendukung program hilirisasi dan telah berdampak manis pada penurunan ekspor biji kakao. Kemenperin mencatat, ekspor biji kakao pada 2013 sebesar 188.420 ton menurun sekitar 63.334 ton pada 2014 dan pada 2015 turun kembali menjadi 39.622 ton.
Sebaliknya, volume ekspor produk olahan kakao meningkat dari tahun 2013 sebesar 196.333 ton, naik pada 2014 menjadi 242.080 ton dan pada 2015 mencapai 287.192 ton. Program hilirisasi industri berbasis kakao telah berhasil menarik investor asing untuk menanamkan modalnya di Indonesia dengan membangun pabrik kakao serta mendorong ekspansi kapasitas produksinya. Selain itu juga mampu menumbuhkan industri coklat skala kecil dan menengah di beberapa daerah.
“Meningkatnya sektor hilir kakao perlu diimbangi dengan peningkatan konsumsi kakao di dalam negeri,” ungkap Panggah.
Saat ini, konsumsi kakao masyarakat Indonesia rata-rata sekitar 0,4 kg per kapita per tahun. Sedangkan, konsumsi negara-negara ASEAN seperti Singapura dan Malaysia sudah mencapai 1 kg per kapita per tahun, bahkan beberapa negara di Eropa konsumsinya lebih dari 8 kg per kapita per tahun.