REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Komite III DPD menggelar rapat dengar pendapat dengan Kementerian Perindustrian di Gedung DPD, Komplek Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (22/11). Rapat ini dalam rangka mendorong pemerintah menumbuhkan wirausaha di Indonesia untuk mengatasi masalah pengangguran.
Dalam rapat ini, Direktur Jenderal Industri Kecil dan Menengah (IKM) Kementerian Perindustrian Gati Wibawaningsih mengakui, jumlah wirausaha di Indonesia hingga kini masih relatif rendah dibandingkan dengan negara-negara maju di dunia. Berdasarkan data Bank Indonesia, dari total penduduk Indonesia sebesar 237,64 juta jiwa atau sekitar 1,65 persen yang berwirausaha sebesar 3,9 juta jiwa.
“Angka itu jauh tertinggal dibandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia, Thailand, dan Singapura yang mencapai di atas 4 persen,” kata Gati seperti dikutip dari keterangan pers DPD RI yang diterima Republika.co.id, Selasa (22/11).
Gati menilai bangsa yang makmur di suatu negara harus memiliki minimum 2 persen wirausaha dari total penduduknya. “Hal itulah yang masih terus diupayakan oleh pemerintah. Jadi negara kita harus memiliki minimun 2 persen wirausaha dari total jumlah penduduk,” lontar dia.
Saat tanya jawab, Anggota DPD RI Provinsi Banten, Ahmad Sadeli Karim mempertanyakan tentang sulitnya membuka industri kecil atau menengah. Sehingga pemerintah seolah-olah mengabaikan kemampuan masyarakat menengah kebawa untuk membuka usaha baru. “Apa lagi saat ini Indonesia telah dibanjir oleh produk impor dari Cina. Bahkan harganya jauh lebih merubah ketimbang produk dalam negeri,” papar dia.
Ia menilai, banjirnya produk impor di Indonesia mengakibatkan persaingan tidak sehat. Tentunya harus ada campur tangan pemerintah untuk mengatasi masalah ini. “Kenapa pemerintah tidak menekan impor? Apa lagi sekarang sudah masuk Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). Ini sangat merugikan usaha kecil dan menengah kita,” papar Sadeli.
Menjawab pertanyaan itu, Gati kembali menjelaskan bahwa saat ini pemerintah telah menggabungkan sektor usaha secara konvensional. Konvensional dimaksud yaitu menggabungkan sektor usaha dengan digitalisasi dalam bentuk marketing. “Sehingga produk-produk kita bisa segera terangkat seperti program E-Smart IKM,” tutur dia.
Sedangkan untuk produk impor seperti dari Cina. Pihaknya telah melakukan uji produk seperti Mocin (motor Cina) yang saat ini sudah tidak beredar di Indonesia. “Kamis sudah melakukan uji produk,” terang Gati.
Sementara itu, Anggota DPD Provinsi Kalimantan Timur Muslihuddin Abdurrasyid memberikan masukan agar pemerintah berupaya memperdayakan siswa-siswa dari SMK guna mengurangi angka pengangguran. Menurutnya SMK mempunyai potensi daya usaha untuk kepentingan bangsa. “Lulusan SMK perlu layak dipertimbangkan untuk dunia usaha dan perekonomian kita,” sarannya.