Rabu 23 Nov 2016 14:01 WIB

LBH Jakarta: Larangan Aksi 2 Desember Mengada-ada

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Bilal Ramadhan
Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).
Foto: Antara//Wahyu Putro A
Massa memadati kawasan bundaran air mancur saat aksi 4 November di Jakarta, Jumat (4/11).

REPUBLIKA.CO.ID, ‎JAKARTA -- Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta menilai pelarangan aksi damai 2 Desember karena dianggap akan mengganggu arus lalu lintas adalah alasan mengada-ada. Pasalnya sudah menjadi pengetahuan umum bahwa demonstrasi sedikit banyak akan mengganggu arus lalu lintas.

Direktur LBH Jakarta Alghiffari Aqsa mengatakan memperlancar arus lalu lintas dan memberitahu kepada masyarakat arus alternatif ketika demonstrasi justru merupakan tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 18 huruf b Peraturan Kapolri No. 9 Tahun 2008.

"Melarang atau membatasi aksi dengan alasan terganggunya fungsi jalan raya atau arus lalu lintas adalah alasan yang mengada-ada. Polisi dapat bertindak jika ada pemblokiran jalan oleh demonstran," kata dia, Rabu (23/11).

Setelah Kapolri mengeluarkan larangan aksi pada tanggal 2 Desember 2016, Kapolda Metro Jaya pun mengeluarkan maklumat Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum. Dia mengatakan adanya penegasan ancaman hukuman pidana mati dalam Maklumat Kapolda menunjukkan bahwa Kepolisian RI dan pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla tidak malu dengan hukuman mati yang merupakan hukuman yang kejam dan tidak berperikemanusiaan.

Menurut dia, sebagai sebuah negara demokrasi seharusnya hukuman mati ditinggalkan oleh Indonesia. "Pidato Jokowi di Australia Oktober yang lalu, yang mengatakan bahwa Indonesia akan mengevaluasi hukuman mati terbukti hanya sekadar lip service semata," ujarnya.

LBH Jakarta mengingatkan bahwa dalam demonstrasi, justru aparat keamanan-lah yang sering melakukan tindakan pelanggaran hukum. Contohnya adalah tindakan pembubaran paksa demonstrasi buruh pada 30 Oktober 2015 serta menangkap 23 aktivis buruh, satu mahasiswa, dan dua pengabdi bantuan hukum LBH Jakarta.

Selain membubarkan paksa, kata Alghiffari, kepolisian melakukan  pemukulan kepada seluruh aktivis, termasuk empat buruh perempuan, dan menghancurkan mobil sound serikat buruh. Padahal demonstrasi dilakukan dengan damai.

Untuk itu, LBH Jakarta mendesak Kapolda Metro Jaya untuk menarik kembali Makllumatnya No. Mak/04/XI/2016 tentang Penyampaian Pendapat di Muka Umum dan mengawal dengan baik setiap aksi demonstrasi yang dilakukan masyarakat.

LBH Jakarta juga mengimbau setiap demonstrasi dilakukan dengan damai dan tidak ada ujaran kebencian terhadap etnis tertentu. Meski begitu, LBH Jakarta mengapresiasi Kapolda Metro Jaya yang melarang provokasi yang mengarah kepada sentimen suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Menurut dia, adanya ujaran kebencian dan sentimen berbasis SARA yang berpotensi mengarah kepada serangan kepada etnis tertentu merupakan tindakan yang bertentangan dengan semangat demokrasi Surat Edaran Kapolri tentang Ujaran Kebencian (hate speech) sudah seharusnya diterapkan ketika demonstrasi, tetapi bukan berarti melarang keseluruhan demonstrasi.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement