REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON – Harga gula di tingkat petani saat lelang periode tujuh hingga sekarang anjlok. Para petani meminta agar impor gula dihentikan karena sangat mempengaruhi harga gula lokal.
"Selama petani tebu belum selesai giling, harusnya jangan impor gula,’’ ujar Sekretaris DPD Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) Jabar, Haris Sukmawan, kepada Republika.co.id, Rabu (23/11).
Pria yang akrab disapa Wawan itu menyebutkan, saat lelang periode pertama hingga enam yang dimulai pada Mei 2016 silam, harga gula bisa mencapai Rp 14 ribu-Rp 14.500 per Kg. Namun saat memasuki lelang periode ketujuh pada pertengahan Agustus 2016 hingga sekarang, harga gula anjlok menjadi Rp 10.800-Rp 11 ribu per Kg.
Wawan mengungkapkan, anjloknya harga gula itu disebabkan masuknya impor raw sugar maupun white sugar. Harga gula lokal jatuh karena kalah saing dengan gula impor. Impor gula itu dilakukan oleh sejumlah perusahaan swasta maupun Bulog.
Wawan menjelaskan, awalnya, kebijakan impor gula yang digulirkan Menteri BUMN Rini Soemarno itu hanya boleh dilakukan oleh pabrik gula milik BUMN yang biasa menggiling tebu milik petani. Izin impor itu pun hanya boleh dilakukan selama dua tahun.
Sebagai kompensasi bagi petani tebu terkait izin impor itu, akan diberikan rendemen tebu sebesar 8,5 persen. Karenanya, meski tingkat rendemen tebu milik petani kurang dari 8,5 persen, maka akan disubsidi oleh pabrik gula yang diberi izin impor tersebut.
Rentang waktu dua tahun izin impor itu, dimaksudkan untuk memberi kesempatan kepada pabrik gula memperbaiki proses pengolahan dan kepada petani untuk memperbaiki proses tanamnya. Diharapkan, pada 2018 di saat izin impor dihentikan, maka pabrik gula dan petani sudah siap menghasilkan tebu dengan rendemen yang tinggi.
"Tapi ternyata, impor itu dilakukan oleh perusahaan swasta dan Bulog,’’ kata Wawan.
Akibatnya, dalam kondisi impor gula yang tetap masuk, rendemen tebu milik petani tetap dibawah 8,5 persen. Petani tebu pun mengalami kerugian karena harga gula lokal kini menjadi anjlok. Tingkat rendemen tebu saat ini hanya 5,6–5,8 persen. Tingkat rendemen tebu itu jauh menurun dibandingkan rendemen saat musim giling pertama yang mencapai 7,2 persen.
Wawan menambahkan, gula rafinasi yang seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman, ternyata malah beredar luas di pasaran. Akibatnya, gula lokal semakin kalah bersaing.