REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Duta Besar Inggris untuk Indonesia, ASEAN, dan Timor Leste, Moazzam Malik menyatakan kekagumannya atas budaya toleransi Indonesia. Dia endorong agar pemerintah dan masyarakat dapat membagikan pengalaman ini ke negara-negara lain di dunia.
Duta Besar menyatakan hal tersebut saat memberikan memberikan kuliah umum di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, Rabu (23/11), demikian keterangan dari UGM yang diterima di Jakarta, Kamis (24/11). "Dari semua negara di mana saya pernah bekerja, Indonesia bisa dibilang yang paling sukses dalam melindungi toleransi dan mempromosikan moderasi," ujarnya.
Dubes Inggris itu mengungkapkan bahwa dia memperoleh pengalaman yang istimewa dalam kunjungan pertamanya ke Indonesia beberapa tahun silam. Sebagai seorang Muslim yang dibesarkan di Inggris, dia heran sekaligus kagum melihat seorang perempuan dalam busana Muslim bisa mengendarai sepeda motor di jalanan umum dan menghadiri pertemuan di Istana Negara yang dipimpin seorang ulama wanita.
Hal itu, menurut dia, adalah sesuatu yang tidak bisa ditemukan di banyak negara Muslim lain. "Mungkin bagi kalian ini hal yang biasa, melihat perempuan memakai jilbab mengendarai sepeda motor. Akan tetapi, bagi saya hal itu begitu luar biasa. Sampai saya langsung mengambil foto dan mengirimkannya kepada anak perempuan saya. Di beberapa negara Muslim ini bisa menimbulkan kontroversi yang begitu hebat," terang Malik.
Malik melihat hal ini sebagai keunikan tersendiri di dalam kehidupan beragama di Indonesia yang dalam skala yang lebih besar dapat menjadi potensi solusi bagi persoalan intoleransi di dunia. Menurutnya, ada dua karakter Indonesia yang diamatinya merupakan pembentuk budaya toleransi di Indonesia. Pertama, tidak seperti kebanyakan negara yang pada mulanya homogen lalu mulai menjadi beragam karena migrasi, sebagai negara yang terbentang dengan ribuan pulau, keberagaman telah menjadi karakter Indonesia sejak awal mula negara ini berdiri.
Selain itu, tambahnya, keberadaan Pancasila sebagai dasar negara serta Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan negara.
"Kebanyakan negara tidak memiliki ide yang serupa, bahkan kami tidak memiliki semboyan nasional seperti itu. Jadi, itulah yang istimewa tentang Indonesia. Di Inggris, kami baru membicarakan mengenai nilai-nilai kebangsaan sekitar tiga tahun yang lalu dan itu cukup memunculkan perdebatan," ungkap Malik.
Keunikan tersebut, menurut Malik, menjadi alasan mengapa Indonesia harus lebih aktif dalam pembicaraan mengenai pluralitas di forum-forum dunia. Guna membangun solusi bersama bagi persoalan intoleransi yang terus menjadi isu penting dari waktu ke waktu.