REPUBLIKA.CO.ID, ABUJA -- Kelompok Hak Asasi Manusia (HAM) mengatakan, pasukan keamanan Nigeria telah membunuh lebih dari 150 pengunjuk rasa.
Amnesty International mengatakan, militer Nigeria menggunakan senjata berisi peluru mematikan untuk menghalau para pengunjuk rasa pro-Biafra. Mereka melakukan unjuk rasa untuk meraih kemerdekaan dari Nigeria. Biafra merupakan negara pecahan Nigeria yang berumur singkat.
Namun polisi Nigeria menolak segala tudingan kelompok HAM. Mereka bahkan menyebut Amnesty International ingin menjelek-jelekkan reputasi Nigeria di mata internasional.
Seperti dilansir BBC, Kamis, (24/11), Amnesty International melaporkan pasukan keamanan Nigeria menembak mati 60 orang di Onitsha. Ini dilakukan saat mereka melakukan peringatan Hari Biafra pada Mei 2016.
Direktur Sementara Amnesty International untuk Nigeria, Makmid Kamara mengatakan upaya Nigeria mengontrol para pengunjuk rasa berakhir dengan pembunuhan 150 pengunjuk rasa. "Kami takut sebenarnya jumlahnya lebih dari itu," katanya.
Selama ini, ujar dia, para pengunjuk rasa melakukan unjuk rasa dengan damai walaupun terkadang ada sedikit insiden. "Namun bagaimanapun juga penggunaan kekerasan apalagi sampai mematikan kepada pengunjuk rasa tak bisa dibenarkan. Ini melawan HAM," kata Kamara.
Seorang pengunjuk rasa (26 tahun) mengatakan, ia ditembak saat melakukan unjuk rasa di Nkpor. Namun tembakan itu tak berhasil membunuhnya sehingga ia masih hidup saat ini.
"Tentara Nigeria memang kejam, saat mereka menemukan saya, mereka mengucuri saya dengan air keras supaya saya mati perlahan," katanya.
Seorang wanita mengatakan, ia sedang berbicara dengan suaminya di telepon saat suaminya ditembak perutnya oleh tentara Nigeria. Ia mendengar suara tembakan yang mengerikan.
Akhirnya ia menemukan suaminya meninggal dengan tembakan di perut dan dua tembakan di dada. Ia yakin suaminya sedang dieksekusi mati saat meneponnya.