REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Pemberlakuan Permen Nomor 2/PERMEN-KP/2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (trawls) dan Pukat Tarik (seine nets) bisa mengancam penurunan produksi ikan nelayan. Pasalnya, hingga kini masih banyak nelayan yang belum bisa mengganti alat tangkap tersebut.
"Produksi ikan akan menurun karena nelayan berhenti beroperasi," ujar anggota Komisi IV DPR RI dapil Indramayu dan Cirebon, Ono Surono, kepada Republika, Kamis (24/11).
Ono menyebutkan, penurunan produksi ikan tersebut nilainya bisa mencapai puluhan triliun rupiah. Selain di Jabar, daerah lain yang nelayannya banyak menggunakan alat tangkap yang dilarang pemerintah di antaranya Jateng, Jatim, Kalbar, Lampung dan Sulsel.
Tak hanya menurunkan produksi ikan, tambah Ono, pemberlakuan permen tersebut pada Januari 2017 juga akan menimbulkan kemiskinan baru di kalangan nelayan. Pasalnya, nelayan akan kehilangan sumber penghasilannya.
Selain itu, 15 pabrik surimi (ikan olahan) yang tersebar di Indonesia juga terancam tutup dan pekerjanya terancam menganggur. Pasalnya, pabrik itu selama ini menggunakan bahan baku ikan yang ditangkap oleh nelayan yang menggunakan alat tangkap yang dilarang Permen KKP 2/2015.
Untuk mengatasi masalah tersebut, Ono meminta agar pemerintah mengganti seluruh alat tangkap nelayan yang tak ramah lingkungan. Pada 2016 ini, pemerintah hanya mampu mengganti 4.000 alat tangkap seluruh Indonesia untuk kapal kurang dari 10 GT. Itupun belum terealisasi karena masih dalam proses pendataan.
Padahal, jumlah kapal yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan di seluruh Indonesia yang ukurannya kurangd ari 10 GT ada sekitar 34 ribu unit. Dengan demikian, banyak nelayan yang tidak memperoleh penggantian alat tangkap tak ramah lingkungan secara gratis dari pemerintah.
Ono mencontohkan, di Kabupaten Indramayu, ada sekitar 1.800 alat tangkap tak ramah lingkungan. Namun, pemerintah hanya memberikan bantuan penggantian alat tangkap sebanyak 519 unit.
Di Cirebon, Ono menyebutkan ada sekitar 4.200 unit kapal yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan. Namun, dari jumlah itu, tidak seluruhnya kyang diberi bantuan kpenggantian alat tangkap tersebut. "Itu bisa menimbulkan konflik di kalangan nelayan," kata Ono.
Sedangkan untuk kapal diatas 10 GT yang menggunakan alat tangkap tak ramah lingkungan, lanjut Ono, belum tentu bisa memperoleh pinjaman dengan mudah dari perbankan. Jikapun pinjaman itu didapatkan, maka nelayan tetap membutuhkan waktu selama tiga sampai enam bulan untuk bisa beralih menggunakan alat tangkap baru.
"Jadi selama pemerintah belum bisa mengganti seluruh alat tangkap tak ramah lingkungan secara total, maka penerapan Permen KKP Nomor 2/2015 sebaiknya diperpanjang lagi," tegas Ono.