Jumat 25 Nov 2016 12:54 WIB

Di Australia Semakin Marak Kencan Online Berakhir Jadi Pemerasan

Kencan online.
Foto: ABC
Kencan online.

REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Sebuah penelitian di Australia diharapkan bisa mengungkap lebih banyak fenomena mengenai 'sextortion' yaitu pemerasan online berkenan dengan kencan yang berkedok penipuan, hal yang semakin marak terjadi dalam dua tahun terakhir.

Penipuan seperti ini dilaporkan semakin banyak terjadi di Australia, namun kebanyakan tidak dilaporkan dan hanya sedikit yang terungkap di persidangan. Sekarang sebuah penelitian dilakukan untuk memahami lebih mendalam fenomena tersebut, sehingga nantinya membawa perubahan peraturan di Australia.

Tracey (bukan nama sebenarnya) akhirnya menghapus semua akun sosial medianya, pindah dari rumah yang pernah ditinggalinya selama 17 tahun, dan kehilangan hampir semua uang tabungannya, setelah kencannya di online berakhir sebagai pemerasaan.

Janda berusia 53 tahun tersebut mengenal seorang pria lewat Facebook Maret lalu dan hubungan mereka berlangsung selama beberapa bulan. Peter, demikian nama yang dikenal Tracey, mengaku sebagai pengusaha Inggris yang tinggal di Hong Kong, dan berencana pindah ke kota tempat tinggal Tracey, Melbourne.

"Kami berbicara lewat telepon (beberapa kali), dan dia mengatakan selalu sibuk rapat atau menghadiri konferensi sehingga lebih mudah berhubungan lewat pesan daripada kontak langsung. Saya sendiri sibuk dengan cucu dan juga pekerjaan saya, sehingga saya juga cocok dengan model hubungan seperti itu," kata Tracey.

Hubungan Tracey dan Peter kemudian berkembang intim dan mereka saling mengirim foto-foto telanjang diantara mereka. "Saya tidak pernah melakukan hal seperti ini sebelumnya (mengirim foto telanjang ke orang lain), namun saya yakin hubungan saya dengan Pete memang dekat, dan dia segera akan pindah," kata Tracey.

Peter threatened to send Tracey's boss and children intimate photos of her if she didn't pay him.
Peter mengancam menyebar foto-foto Tracey jika permintaannya tak dituruti.

Namun orang yang mengaku bernama Peter ini, sebenarnya adalah penipu, yang kemudian mengancam akan mengirim foto dan video Tracey ke majikan dan anak-anaknya bila Tracey tidak membayar tebusan. "Dia tahu daftar teman-teman saya di Facebook, dia tahu dimana saya bekerja karena adanya Linkedin, dan dia bahkan tahu nama bos saya," kata Tracey.

"Awalnya dia meminta 3.500 dolar AS (sekitar Rp 35 juta), dan saya mengatakan tidak punya uang sebanyak itu. Dia akhirnya setuju 1.800 dolar AS, dan saya mengirim dananya keesokan harinya," katanya.

Tracey mengirim uang itu lewat jasa pengiriman online namun tidak melaporkan Peter ke pihak berwenang. Dia pindah rumah tiga minggu kemudian karena kekhawatiran pemerasan akan terus berlangsung, atau Peter akan mengetahui rumahnya. Dia mengatakan kepada tiga anaknya yang sudah dewasa dia pindah untuk lebih dekat dengan cucu-cucunya.

Sextortion ini hanya seperti gunung es

Tracey adalah korban dari apa yang dalam bahasa Inggris disebut "sextortion" — bentuk pemerasan lewat internet dimana informasi atau gambar bernada seksual digunakan untuk mendapatkan uang atau tindakan seksual.

Sextortion — yang bisa juga berbentuk revenge porn (tindakan balas dendam dengan mengancam akan menerbitkan gambar bernada seksual setelah hubungan putus) - adalah masalah yang semakin marak terjadi di Australia. Pihak berwenang kesulitan memecahkan masalah tersebut, karena sebagian besar tidak dilaporkan dan juga karena sebagian pelakunya berada di luar Australia.

Tahun ini, situs laporan ACCC (Lembaga Perlindungan Konsumen Australia) menerima sekitar 53 laporan baru mengenai 'sextortion' setiap bulan. Di 2015, jumlah laporan tertinggi per bulan adalah 16.

Per kasus, korban membayar tebusan antara 200 dolar AS sampai 3.500 dolar AS agar pemerasnya tidak memuat foto atau informasi online. "Saya percaya ini masih seperti permukaan gunung es." kata juru bicara ACCC Delia Rickard.

"Saya berulang kali bertemu orang yang tidak pernah melaporkan kasus yang menimpanya. Mereka merasa uang mereka tidak akan kembali dan juga merasa malu atas apa yang sudah terjadi. Rickard menambahkan jangan bagikan foto-foto intim anda dengan orang yang anda kenal lewat internet. Yang lain juga hati-hati dengan setting privasi di akun sosial media anda.

Pria juga bisa menjadi korban

Pandangan umumnya mengatakan penipuan asmara online ini sasaran utamanya adalah perempuan. Namun Rickard mengataakn pria juga rentan jadi korban.

"Kita semua rawan untuk jatuh ke dalam perangkap," katanya.

Seperti John, seorang pria berusia 40 tahunan, yang masih berkeluarga, yang menggunakan layanan kencan online. Sebagai bagian dari hubungan "sugar relationship" (hubungan antara biasanya pria tua dengan wanita muda) John menyetujuui di Desember 2015 untuk membayar 'Alison' yang diduganya adalah mahasisiwi jurusan seni berusia 20 tahun - untuk berkencan dengannya.

John is worried reporting his experience with sextortion could compromise his personal relationships.
John khawatir dampak terhadap keluarganya bila melaporkan apa yang dialaminya kepada polisi.

Tetapi Alison, yang tidak pernah bertemu dengan John, mengancam akan melaporkan kepada istrinya, atas SMS bernada seksual, dan juga video John melakukan masturbasi yang dikirimnya ke Alison.

"Dia meminta bertemu di belakang kantor, karena dia punya fantasi untuk melakukan hubungan seksual dengan seorang pria yang mengenakan jas di tempat parkir kantor." kata John, yang hanya menggunakan nama pertama untuk menyembunyikan identitasnya.

"Namun maksud sebenarnya adalah ingin mengetahui siapa saya dan dimana saya bekerja."

Alison juga menelpon rumahnya dan meninggalkan paesan agar John menelepon balik Alison. "Ketika saya menyadari dia sudah berbicara dengan istri saya, saya baru menyadari ini semua adalah jebakan. Jadi saya membayar apa yang dimintanya," kata John.

John tidak mau menjelaskan berapa yang dibayarnya dan hanya mengatakan ribuan dolar. Ketika Alison mencoba memeras John untuk keempat kalinya, dia mempersilakannya memberitahu istrinya. "Dia tidak melakukannya." kata John 'saya kira karena dia sekarang sudah beralih ke korban berikutnya."

John mengatakan dia mempertimbangkajn melaporkan insiden kepada polisi, namun khawatir akan dampaknya terhadap keluarganya.

Penelitian pertama di Australia

Sejauh ini belum ada penelitian mengenai hal ini di Australia. Kajian pertama yang muncul adalah penelitian di tahun 2015 mengenai pelecehan digital yang dilakukan oleh peneliti RMIT, sebuah universitas di Melbourne.

Kajian itu menyebutkan satu dari 10 warga Australia (yang berusia antara 18-54 tahun) pernah mengalami foto telanjang atau setengah telanjang mereka terbesar di internet atau dikirim ke pihak lain tanpa seijin mereka.

Sekarang Dr Nicola Henry, dosen senior di bidang keadilan, kriminal dan ilmu hukum di La Trobe di Melbourne, yang menjadi salah satu pembuat laporan RMIT itu, melakukan proyek penelitian mengenai sextortion. Penelitian akan mengkaji 3.000 pria dan perempuan untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai penyalahgunaan foto di internet.

Sextortion: Perlu aturan lebih memadai

Bekerja sama dengan peneliti dari Inggris dan Selandia Baru, Dr Henry berharap bahwa penelitiannya akan membuat lebih banyak orang mau melaporkan tindak kriminal ini. "Kami tahu korban enggan melaporkan insiden pengiriman gambar seksual online ini kepada polisi. Mereka mungkin tidak tahu bahwa apa yang terjadi dengan mereka adalah tindak kejahatan."

"Mereka mungkin khawatir bahwa polisi atau pihak lain akan melihat gambar-gambar ini, atau bila kasusnya dibawa ke pengadilan, anggota masyarakat akan melihat gambar mereka online," kata Dr Henry.

Dr Henry juga mengatakan bahwa pihak berwenang memerlukan pelatihan lebih banyak untuk tidak menyalahkan korban, hal yang masih sering terjadi. Hukum yang disebut hukum "revenge porn" baru-baru ini diberlakukan di negara bagian Australia Selatan dan Victoria, dimana sekarang adalah ilegal untuk mengirimkan foto-foto bernada seksual tanpa ijin mereka yang ada di dalam foto tersebut.

Pemerintah negara bagian New South Wales juga sedang bergerak ke arah yang drama. Namun Dr Henry juga memperingatkan kesulitan yang dialami polisi di Australia karena dari sebagian besar laporan yang sudah masuk, pelakunya berada di luar Australia dimana hukum Australia tidak berlaku.

"Kami berharap penelitian kami akan membuat adanya peraturan khusus di tingkat federal, dan juga di negara bagian lain yang belum memiliki aturan mengenai hal tersebut sekarang." katanya.

*Nama-nama dalam artikel ini sudah diganti.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/gaya-hidup-nad-kesehatan/kencan-online-berakhir-jadi-pemerasan/8058088
BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement