REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Sistem kerja rumahan disebut rawan melanggar aturan yang ada dalam UU Ketenagakerjaan. Kondisi ini tercermin salah satunya dari keterlibatan anak-anak yang ikut bekerja melebihi batas yang ditentukan.
Koordinator Mitra Wanita Pekerja Rumahan Indonesia (MWPRI) Kota Malang Cecilia Susiloretno menerangkan di Kota Malang ia banyak menemui anak-anak usia sekolah bahkan balita yang ikut bekerja. "Sebenarnya orang tua mereka yang bekerja tapi anak-anak tak jarang diminta membantu agar pekerjaan cepat selesai," jelasnya pada Jumat (25/11) di Malang.
Berdasarkan UU Ketenagakerjaan, anak-anak hanya boleh bekerja maksimal tiga jam per hari. Namun, lanjut Cecilia, dari hasil penelusuran MWPRI di lapangan banyak anak-anak yang bekerja lebih dari tiga jam. "Ini melanggar hak anak karena UU ketenagakerjaan menyebut anak hanya boleh bekerja maksimal tiga jam per hari dan tidak di tempat yang berisiko," tegasnya.
Sebagian besar pekerja rumahan yang bekerja kepada perusahaan (putting-out system) juga menerima bayaran dengan jumlah jauh di bawah standar ketentuan upah minimum. Rentang upah yang diterima hanya berkisar Rp 80 ribu - Rp 1 juta per bulan.
Ketiadaan perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja maupun jaminan sosial menjadikan mereka bagian dari warga yang masih bergelut dengan kemiskinan. Keadaan ini jelas menguntungkan kaum pengusaha namun sebaliknya menjadi mimpi buruk para pekerja rumahan.
"Pemerintah harus melindungi dengan program perlindungan sosial, bukan sebagai pekerja tetapi sebagai masyarakat yang membutuhkan bantuan," ujarnya.