REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Indonesia Traffic Watch (ITW) memberikan apresiasi kepada pasangan calon Gubernur DKI yang akan melakukan moratorium terbatas, penjualan kendaraan di wilayah Ibu Kota Jakarta. Sebaliknya, pasangan calon yang tidak mempersoalkan jumlah kendaraan yang dimiliki warga asal membayar pajak, adalah pasangan calon gubernur yang minus kepedulian terhadap permasalahan lalu lintas khususnya kemacetan.
“Moratorium terbatas menjadi kebijakan efektif, sekaligus bentuk nyata kepedulian dan pemahaman Gubernur DKI untuk mengurai kemacetan,” kata Ketua Presidium ITW, Edison, dalam keterangannya yang disampaikan kepada Republika.co.id, Sabtu (26/11).
Menurut dia, permasalahan lalu lintas khususnya kemacetan di Jakarta yang sudah dalam katagori 'gawat darurat' harus diatasi dari sumber atau hulu pemicu kemacetan. Gubernur harus berani membuat kebijakan yang revolusioner seperti moratorium berjangka terhadap penjualan kendaraan.
Edison mengingatkan, kemacetan tidak bisa diatasi hanya dengan anggaran yang besar atau dari hasil pajak kendaraan yang diterima. Tetapi harus disertai dengan upaya pengurangan kepemilikan jumlah kendaraan dan pengadaan serta perbaikan kualitas pelayanan angkutan umum massal. Kemudian secara bersamaan melakukan upaya untuk meningkatkan kesadaran tertib lalu lintas masyarakat disertai penegakan hukum yang baik.
Dikatakan Edison, APBD DKI hampir 50 persen berasal dari pajak kendaraan bermotor (PKB). Tetapi Pemprov DKI belum melakukan metoda penanganan masalah lalu lintas seperti negara-negara maju. Yaitu kombinasi dari engineering, education, dan enforcement atau keterpaduan aspek teknologi dan inovasi kendaraan dan management lalu lintas serta pendidikan kesadaran tertib lalu lintas dan penegakan hokum yang tegas.
ITW menilai, justru belum terwujudnya keamanan, keselamatan, ketertiban, kelancaran (Kamseltibcar) lalu lintas di Jakarta, dipicu kebijakan Pemprov DKI yang hanya fokus pada upaya yang sifatnya proyek,seperti pembangunan jalan tol dalam kota. Seharusnya Pemprov DKI melakukan pembatasan populasi atau pertumbuhan jumlah kendaraan hingga ideal dengan daya tampung ruas jalan yang ada, bukan hanya pada pembatasan gerak kendaraan.
Tentu, upaya itu, bersamaan dengan pengadaan dan perbaikan kualitas pelayanan angkutan umum massal yang terintegrasi ke seluruh penjuru serta terjangkau secara ekonomi. Diikuti dengan upaya untuk meningkatkan kesadaran tertib lalu lintas masyarakat serta penegakan hukum yang maksimal.
“Pemerintah harus paham, sebagian besar masyarakat memiliki kendaraan dengan beragam alasan. Tidak semua yang membeli kendaraan hanya untuk memenuhi kebutuhan, tapi ada juga unsur terpaksa. Sebaliknya, sebagian masyarakat ada yang menjadikan kendaraan sebagai lambang kesuksesan dan status sosial,” kata Edison.
Dikatakannya, belum tersedianya angkutan umum yang memadai dan kebijakan Pemprov DKI yang justru menimbulkan kemacetan, menambah permasalahan lalu lintas kian runyam. Sehingga, kemacetan saat ini, sudah mematikan kreatifitas dan aktifitas serta membuat psikologis warga Jakarta terguncang. Kemudian masyarakat mencari solusi dengan berupaya membeli mobil atau motor karena tidak ada pilihan.
Edison menjelaskan, mewujudkan Kamseltibcar dapat dilakukan sesuai dengan kebutuhan dan kondisi wilayahnya. ITW berharap, pasangan calon yang terpilih menjadi gubernur DKI hendaknya membuat kebijakan soal lalu lintas berdasarkan kebutuhan, bukan berorientasi proyek yang beraroma bisnis. "Lalu lintas dan angkutan jalan yang menjamin Kamseltibcar merupakan kewajiban Negara bukan menjadi ajang untuk menarik restribusi dari masyarakat," tandasnya.