REPUBLIKA.CO.ID, BUDAPEST -- Salah satu organisasi Muslim utama di Hongaria mengecam kebijakan-kebijakan yang diambil Wali Kota Asothalom. Langkah itu dianggap sebagai xenophobia karena cuma akan melestarikan nilai-nilai Kristiani tradisional dan mencegah imigran.
Wali Kota Asothalom, Laszlo Toroczkai, pekan lalu melarang pembangunan masjid, penggunaan muadzin di waktu shalat dan penggunaan pakaian seperti cadar atau burkini. Komunitas Islam Hongaria, MIK, mengaku terkejut dengan meningkatnya xenophobia dan Islamofobia, yang belakangan tertuang di peraturan kota.
Ia berdalih, langkah-langkah yang diterapkan merupakan cara untuk melindungi masyarakat dan tradisi lokal, dari pemukiman massa yang berasal dari luar Hongaria. Torozkai sendiri jadi populer sejak 2015, saat membuat video di pagar perbatasan, yang menulis migran Serbia dilarang masuk.
Sementara, MIK yang didirikan sejak tahun 1990, merupakan kelompok tertua yang mewakili Muslim Hongaria, diperkirakan memiliki sekitar 40.000 anggota. MIK sendiri sudah meminta secara tertulis ke Mahkamah Konstitusi, untuk dapat segere memeriksa peraturan tersebut.
"Walaupun kami agama minoritas, hak-hak konstitusional kami harus dilindungi karena kami adalah warga negara Hongaria, sama seperti mayoritas non-Muslim," kata Kepala MIK Zoltan Bolek, seperti dilansir Arab News, Selasa (29/11).
MIK menambahkan, umat Islam sudah pasrah atas peningkatan serangan verbal dan fisik, usai referendum yang dipimpin pemerintah bulan lalu menolak rencana kuota migran di Uni Eropa. MIK menduga, surat atau pesan berkode yang dikirim ke Perdana Menteri Viktor Orban, merupakan kampanye anti migrasi.
Kampanye itu tampaknya memiliki pesan kalau migran merupakan Muslim, dan Muslim adalah teroris atau penjahat. Bahkan, Hungaria secara terang-terangan sudah menolak rencana Kanselir Jerman Angela Merkel, yang sudah disepekatai Uni Eropa untuk melakukan kebijakan pintu terbuka.