REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Forum Pertukaran Pendidikan Multi Kultural di ASEAN yang digelar Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta berlanjut. Memasuki hari terakhir, peserta yang berasal dari Pondok Pesantren se-Indonesia mendapat pemaparan tentang sistem pendidikan di Jepang.
Direktur Kerja Sama Internasional Kementerian Luar Negeri Jepang, Shingo Miyamoto, mengatakan, Jepang memang mewajibkan pendidikan SD sampai SMP, dengan rata-rata 98,7 persen lanjut ke SMA. Cuma ada 1,4 persen yang tidak lulus masuk SMA, dan biasanya lanjut universitas dengan alasan persaingan kerja.
"Ujian masuk universitas lebih penting di Jepang, karena ada pola pikir orang tua kalau tidak masuk universitas akan sudah mendapatkan kerja," kata Miyamoto, Senin (29/11).
Dari sisi kurikulum, dia menuturkan, Jepang memang memiliki standar negara yang wajib diikuti sekolah negeri, swasta atau yang berbasis lembaga agama. Hal itu membuat tingkat pengetahuan siswa-siswa di Jepang rata-rata memang tinggi dan cenderung sama, dan lebih tinggi dibanding negara-negara lain.
Namun, tutur Miyamoto, kesamaan itu memiliki sisi buruk, karena sistem yang digunakan memang lebih banyak menghapal, Sehingga, originalitas masing-masing siswa terbilang kurang. Pasalnya, siswa sudah disibukkan menghafal ribuan huruf, membuat kemampuan siswa untuk berpikir menjadi kurang.
"Fleksibilitas siswa kurang dibandingkan orang-orang di Indonesia, makanya saya lebih suka di sini (Indonesia)," ujar Miyamoto.
Ia mengungkapkan, ada satu kegiatan siswa Jepang yang rasanya memang hampir tidak terjadi di negara lain, yaitu tradisi membersihkan kelas. Melalui video liputan jurnalis Timur Tengah, Miyamoto memberi penjelasan tradisi bersih-bersih siswa di Jepang kepada para pendidik Pondok Pesantren.
Selain itu, ada hubungan senior dan junior yang cukup khas di Jepang, karena memang seorang junior wajib memakai bahasa Jepang sopan untuk bicara. Walau banyak keunggulan, Miyamoto mengaku, sistem ini memiliki sisi buruk yang cukup besar dibanding negara-negara lain, yaitu waktu bermain anak.
"Sisi buruknya, anak-anak jadi harus belajar dari kecil, mereka (anak-anak) kurang senang-senang," kata Miyamoto.