REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Kementerian Pertanian optimitis menjadi lumbung pangan dunia pada 2045 meski Indonesia mengalami susut lahan. Susut lahan tersebut diakui Inspektur Jenderal Kementerian Pertanian Justan Ridwan Siahaan bukan masalah besar untuk Idonesia mewujudkan swasembada dan lumbung pangan dunia.
"Luas lahan yang kita butuhkan untuk 2045 sama dengan sekarang," ujar dia usai Rapat Kerja Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Balitbangtan) di Bogor, Selasa (29/11).
Kepala Balitbangtan Muhammad Syakir mengatakan akan memanfaatkan lahan sub-optimal atau lahan kurang subur yang banyak ada di Indonesia. Sebanyak 90 persen lahan Indonesia memiliki C organik di bawah dua persen yang artinya masuk ke dalam kriteria lahan sub-optimal.
"Lahan sub-optimal Indonesia 60 juta hektare, 8,2 juta hektare yang sudah digunakan," ujar dia.
Untuk mengatasinya, pihaknya menerapkan teknologi Jajar Legowo Super (Jarwo Super). Di dalam Jarwo Super tersebut termasuk varietas unggul baru dan teknologi bio dekomposer.
Ia menjelaskan, bio dekomposer membutuhkan waktu cepat untuk kembali melakukan penanaman. "Penyemprotan bio-dekomposer setelah panen, hanya memerlukan waktu 5-7 hari sudah bisa diolah ditanami," lanjut dia.
Pemberian pupuk hayati juga sebagai upaya peningkatan kesuburan lahan yang juga mampu mengefisienkan penyerapan kompos pada lahan. Sebagai satu kesatuan upaya peningkatan produktivitas, Syakir juga menerapkan penggunaan bio protector atau pestisida organik.
Sebab, pestisida organi bukan hanya dapat mengurangi serangan Hama Penyakit Tanaman (HPT), pestisida organik juga mengandung zat perangsang tubuh. "Bio protector mampu memacu pertumbuhan tanaman," lanjut dia.
Sebelumnya, untuk meningkatkan produktivitas Kementan menerapkan Jarwo Biasa dengan produktivitas 6 hingga 7 ton sementara Jarwo Super 10-12 ton per hektare. "Ini adalah bagaimana memanfaatkan sumber daya yang kita miliki," ujarnya.