Rabu 30 Nov 2016 06:09 WIB

'Politisi Melayu' dan Kutu Loncat: Negara tanpa Negarawan

Pasribakan menaikkan bendera Merah Putih pada peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8)
Foto: Wihdan HIdayat/Republika
Pasribakan menaikkan bendera Merah Putih pada peringatan Detik-detik Proklamasi di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (17/8)

'Politisi Melayu', Kutu Loncat: Negara Tanpa Negarawan

Oleh: Erie Sudewo, Pendiri Dompet Duafa

=========

 Tanggal 28 Nov’16, tubuh saya terkulai di pesawat Bali-Jakarta. Transit dua jam, untuk terbang lagi ke Banjarmasin menuju Kabupaten Amuntai. Pukul 01.05 saya baru sampai kota Amuntai, Kabupaten Hulu Sungai Utara, Kalimantan Selatan.

Lelah, pasti Bro. Alih-alih pulih, mikir lelah malah bisa stress. Daripada daripada ya ambil laptop lah. Segera saya tulis pertanyaan Riwok Ndadari. “Tahu singkatan NTN? Negara Tanpa Negarawan”, jawabnya tanpa saya minta. Wah ini soal besar, bathin saya berbisik.

Negara tanpa negarawan clear artinya. Tapi soal makna tak main-main. Saya coba telusur beda tahu dan makna. Tahu cuma letterlijk, tersurat. Sedang makna, ungkap yang tersirat. Bisa ambil benang merah konteks makna, perlu kepekaan lebih.

Saya manggut-manggut. Saya baru ngeh, ini jawaban mengapa saya sering telmi. Sifat kasar saya terbukti mandulkan kepekaan. Begitu tersindir, kegusaran saya gagal deteksi pesan di baliknya.

Negara tanpa negarawan, apa mungkin? Negerinya ada tapi nir negarawan. Aneh. Dari sisi makna, jelas mustahil. Bagaimanapun pasti ada negarawan. Cuma nah iniiii. Langka.

Kenapa langka, ada banyak sebab. Satu hal, mungkin tak bisa tampil. Entah lajurnya dimatikan. Atau negarawannya justru tak berselera akrab dengan “politisi Melayu”. “Politisi Melayu, maksudnya?” tanya saya.

Ciri kesatu, jelas Riwok Ndadari, parah idap penyakit “kutu loncat”. Kedua, tak sungkan siasahi arena politik jadi ajang cari makan. Ketiga, apa yang diucap dan yang dikerjakan tak klop. Keempat enteng saja bohongi audience terus-terusan. Kelima tak risih fotonya terpampang seolah jadi “new hero”.

Saya bertanya: “Apa beda negarawan dan politisi?” Negarawan disukai rakyat. Tapi ngak lah politisi Melayu. Negarawan dicintai bangsa. Namun tidak bagi asing. Ya gitu deh untuk ekspansi, asing butuh komprador. Siapa? Politisi Melayu yang biasanya jadi koruptor.

Politisi Melayu dan koruptor bukan negarawan. Orang-orang ini warna kulit sih sawo busuk. Tapi sumpah mereka tak cinta tanah air. Kalau waktu kampanye apalagi wawancara, teriaknya sih: “Aku untuk bangsaku”. Cuma ya kayak ga tahu aja.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement