REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas masih mandek di DPR RI. Padahal, rencana revisi UU Migas sudah hampir satu dekade didengungkan. DPR sebagai inisiator hingga kini belum menyelesaikan draf revisi tersebut.
Peneliti senior The Habibie Center, Zamroni Salim mengatakan, harus ada gerakan dari pemerintah kalau memandang revisi UU Migas ini mendesak. Pemerintah diperkirakan sudah menyiapkan draft revisi UU Migas. Namun, kalau posisi pemerintah hanya menunggu DPR, revisi UU Migas bakal lebih lama diselesaikan.
"Pemerintah harus punya level inisiatif untuk kembali membahas revisi UU Migas," tutur Zamroni di Jakarta, Selasa (29/11).
Dalam posisi sekarang, pemerintah dinilai harus menunggu DPR menyelesaikan draft revisi mereka. Sebab, posisi DPR dalam revisi UU Migas merupakan inisiator. Namun, hingga saat ini, pembahasan di internal Komisi VII (bidang energi) belum menemukan kata sepakat atas draft yang disusun.
Sebab itu, ujar Zamroni, dibutuhkan peran aktif pemerintah untuk kembali mendengungkan revisi UU Migas. Tanpa dorongan dari pemerintah dikhawatirkan pembahasan revisi UU Migas bakal kembali mandek. Artinya, selama ini, kedua lembaga penyusun UU ini dinilai seolah revisi UU Migas bukan sebuah hal penting bagi rakyat. Padahal, bidang energi merupakan sektor vital untuk pembangunan bangsa.
"Kalau pemerintah juga tidak berani, maka DPR juga terkesan diam saja, tapi kalau pemerintah berani mengambil inisiatif, otomatis DPR akan ikut masuk," tegas Zamroni.
Menurut Zamroni, UU Migas tahun 2001 dinilai sudah tidak relevan lagi untuk menjaga ketahanan energi nasional. Selama ini, UU tahun 2001 tersebut terdapat banyak pasal yang sudah dibatalkan Mahkamah Konstitusi (MK). Selain itu, UU tersebut hanya berlandaskan sistem kerja untuk penyediaan migas berdasarkan permintaan pasar tanpa disertai konversi migas dan diversifikasi energi. Kondisi ini memaksa Indonesia terjebak dalam krisi energi.