REPUBLIKA.CO.ID, MINSK -- Para menteri luar negeri dari Jerman, Prancis, Rusia, dan Ukraina telah selesai mengadakan pertemuan di Minsk, Ibu Kota Belarusia, Selasa (29/11). Mereka bertemu merundingkan upaya perdamaian atas situasi terkini di Ukraina, khususnya daerah Donbass.
Namun, perundingan ini tidak menghasilkan keputusan apa pun. Menteri Luar Negeri Jerman, Frank-Walter Steinmeier mengakui, upaya dari empat negara belum optimal untuk meredakan ketegangan di Ukraina.
Sejak 2014 kondisi perpolitikan di Ukraina meningkat. Selama 24 hari, yakni 20 Februari-19 Maret 2014, krisis Krimea berlangsung yang dimulai dari masuknya pasukan Rusia ke wilayah Ukraina itu. Kemudian, sejak 6 April 2014 peperangan terjadi di daerah Donbass antara kelompok separatis dan pasukan Ukraina. Tahun lalu, perjanjian Minsk memaklumkan gencatan senjata di Donbass. Namun, penerapannya masih menemui jalan buntu hingga kini.
Menurut Steinmeier, Ukraina dan Rusia sama-sama keras dalam mempertahankan argumennya. Apalagi dalam soal pemungutan suara di Donbass, sebagaimana yang dituntut Rusia dan kelompok separatis setempat.
“Sangat membosankan. Benar-benar sekadar lip service (pertemuan ini), tidak cukup berupaya menyelesaikan konflik,” kata Steinmeier.
Terpisah, Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menolak keinginan Ukraina yang hendak memasukkan pasukan OSCE di Donbass. “Tak ada terobosan dari pertemuan hari ini. Penerapan perjanjian Minsk tertunda-tunda. Kami memang tidak sepakat dengan sekuel rencana itu (dari Ukraina),” kata Lavrov kepada juru warta.
Meski begitu, pertemuan kemarin menyetujui sedikit hal penting, antara lain mediasi dari Palang Merah Internasional boleh masuk. Khususnya dalam hal pertukaran tahanan di antara dua kubu yang bertikai sebelum akhir tahun ini.