REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Pembicaraan apakah Tuhan ada telah bergeser menjadi mengapa orang beragama? Para peneliti dari University of Utah, Amerika Serikat (AS) meneliti aktivitas otak para pemeluk agama dan mendapati reaksi bahagia tertentu.
Menggunakan foto FMRI, para peneliti menemukan agama dan pengalaman spiritual mengaktifkan aktivitas otak seperti reaksi perasaan cinta, berhubungan seksual, dan mendengarkan musik. Ini bisa jadi alasan cukup kuat bagi 4.200 agama dan aliran kepercayaan bisa bertahan.
Salah seorang peneliti studi ini yang merupakan mahasiswa pascasarjana bioteknologi University of Utah, AS, Michael Ferguson menyampaikan, studi ini dilakukan dengan meminta para partisipan untuk memikirkan sosok juru selamat, kebersamaan abadi bersama orang-orang yang disayangi, atau imbalan di surga. "Ternyata, otak dan tubuh para partisipan memberi respons," katanya.
Dalam studi yang dipublikasikan di jurnal Social Neuroscience, Ferguson dan rekan-rekannya memindai otak 19 orang dewasa muda yang menjadi anggota gereja. Para peneliti sendiri fokus pada pengikut Mormon.
Riset mereka menunjukkan, perasaan spiritual yang kuat dan terkait dengan aktivasi area nucleus accumbens (NAc) di otak, area di otak yang melepaskan hormon dopamin. Puncak perasaan akan direspons dengan percepatan detak jantung dan napas yang makin dalam.
Selain itu, perasaan spiritual juga berkaitan dengan medial prefrontal cortex, yakni bagian otak yang mengaktifkan dan mengolah nilai dan alasan moral. Perasaan spiritual juga mengaktifkan bagian otak yang berhubungan dengan fokus.
"Pengalaman religius mungkin jadi bagian paling berpengaruh dalam pengambilan keputusan kita semua, baik atau buruk. Memahami apa yang terjadi di otak terhadap keputusan itu sangat penting," kata ahli neuro-radiologi yang juga peneliti senior studi ini, Jeff Anderson, seperti dikutip Medical Daily, Selasa (29/11).
Para peneliti dalam studi terbaru pemindaian otak menggunakan fMRI ini, belum bisa menggeneralisasi apakah penganut agama lain menunjukkan reaksi yang sama dengan para pemeluk Mormon. Dibutuhkan investigasi lanjutan untuk mengetahuinya, termasuk melibatkan mereka yang mengaku atheis dan pemeluk agama lain.
Kesimpulan besarnya adalah tak ada titik tunggal ketuhanan di otak. Sebab keyakinan beragama salung terhubung dan berjalan harmonis di semua bagian otak.
Sebuah studi serupa pada 2006 di Psychiatric Research: Neuroimaging juga membandingkan aktivitas otak partisipan yang menyanyikan lagu-lagu rohani dengan pembicaraan biasa. Mereka menemukan lobul frontal otak yakni bagian otak yang memproses kontrol gerak ternyata relatif tenang, sama seperti area pusat bahasa otak.
Namun, area yang mengelola kesadaran jadi aktif. Yang menarik, terlihat pula ada aktivitas di daerah yang disebut caudatus kiri. Caudatus ini biasanya aktif saat seseorang mengalami pengaruh positif, bahagia, dan emosi positif.
Lalu, bagaimana dengan otak mereka yang mengaku tak beragama atau atheis?
Ahli neurosains yang puluhan tahun mendalami kepercayaan dan praktik keagamaan, Andrew Newberg, menemukan hal menarik saat dia memindai otak beberapa orang termasuk seorang atheis yang Newberg sebut 'Kevin', beberapa biksu, dan biarawati saat mereka melakukan meditasi.
Otak Kevin menunjukkan aktivitas lebih tinggi di bagian prefrontal cortex, yakni area yang mengendalikan perasaan emosional dan perhatian meditasi. Otak Kevin bekerja dalam proses analisis tinggi meski ia sedang beristirahat.