REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mngatakan, lebih dari 40 persen keluarga yang mengungsi di Chad kelaparan setelah bantuan pangan dikurangi dua tahun lalu. Alhasil, mereka mengurangi jumlah makanan dan memilih berutang.
Chad, Afrika Tengah adalah rumah bagi sekitar 400 ribu pengungsi yang melarikan diri dari Darfur, Sudan lebih dari satu dasawarsa lalu. Negara itu juga ditempati 70 ribu pengungsi dari Republik Afrika Tengah. Sementara itu, lima ribu pengungsi melarikan diri dari kelompok militan Boko Haram di Nigeria.
Sebagian besar pengungsi sejak 2014 disarankan untuk mengonsumsi 40 persen 2.100 kilokalori per harinya selama situasi darurat masih berlangsung.
Merujuk hasil survei Program Pangan Dunia (WFP) dan Badan Pengungsi PBB (UNHCR), panen buruk ditambah pengurangan jumlah makanan menyebabkan tingginya jumlah keluarga tanpa asupan cukup menjadi 44 persen. Padahal jumlahnya tahun lalu hanya 23 persen. "Kondisinya cukup gawat - banyak pengungsi telah mengurangi jumlah makanannya selama dua tahun," kata wakil direkur WFP Chad, Issa Sanogo via telepon, Selasa.
"Perhatian utama jika kita tidak memiliki solusi atas persoalan ini, mengurangi dampaknya ke para pengungsi," tambahnya.
Merujuk hasil survei, sekitar 40 persen dari seluruh pengungsi tidak bertumbuh baik. Gejala itu menandai kondisi kelaparan kronis, mengakibatkan ukuran tubuh berkembang tidak normal.
Mayoritas pengungsi adalah anak-anak berusia lima tahun yang mengidap anemia. Lebih dari 22 ribu pengungsi dirawat karena berat badannya kurang dan tidak normal. "Kurangnya sumber daya memaksa kami memangkas jumlah asupan," kata Direktur WFP Chad, Marry-Ellen McGroarty.
"Salah satu cara mengurangi dampak itu adalah memberi perhatian ke para pengungsi yang kondisinya cukup rentan dan butuh bantuan".
Pengungsi kerap mencari uang dengan menjual makanan, hewan, dan kayu atau melalui bisnis kecil lainnya. Lembaga itu memberikan bantuan lebih ke keluarga yang rentan dan sangat miskin, kata WFP.