REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Fadhlullah Muh Said *)
Pesantren sudah saatnya tampil menjadi duta dengan missi mempromosikan perdamaian dan menebarkan 'virus-virus' ini dalam tatanan kehidupan masyarakat dari akar bawah hingga atas. Perdamaian adalah inti dan pokok seluruh ajaran agama baik agama-agama bumi (earthly religions) dan agama-agama wahyu (revealed religions). Cita-cita tertinggi semua agama adalah terwujudnya perdamaian tanpa kekerasan.
Namun pada kenyataannya, semua agama tidak selalu dapat memainkan peran tersebut. Ketiga agama yang diklaim agama Nabi Ibrahim (Abrahami religions), Yahudi, Kristianitas, dan Islam sering dipandang bahkan tertuduh sebagai agama yang lebih rawan bagi kekerasan, radikalisme, konflik, dan terorisme. Terbukti dari waktu ke waktu, agama digunakan kelompok yang memiliki agenda keagamaan dan politik tertentu untuk menyebar kebencian, konflik, kekerasan, bahkan perang.
Hal ini sulit dipungkiri, karena diberbagai belahan dunia termasuk Timur Tengah masih terjadi konflik, kekerasan, terorisme, dan perang atas nama agama. Di Indonesia sendiri mengalami kondisi ini. Kasus dugaan penistaan agama mulai berkeliaran, teror bom rumah ibadah seperti gereja mulai marak. Pelecehan ulama menjadi penyakit baru masyarakat melalu media soial.
Pembunuhan karakter dari berbagai linik sangat terasa. Tensi dan konflik ini terjadi bukan hanya antaragama, melainkan intraagama -di antara mazhab (Sunni-Syiah dan Ibadiyah), aliran (Ahmadiyah dan Islam Jamaah), atau denominasi dalam agama tertentu. Kebencian sektarian, salah satu sumber kekerasan agama, bahkan sering disebut menjadi penyebab intoleransi agama secara kronis.
Perbedaan pemahaman dan amaliyah praktis, ritual yang bisa saja muncul secara alamiah dalam agama manapun, sepanjang sejarah sering sangat pahit, keras, dan kejam. Apalagi, pertikaian dan kekerasan sektarian hampir selalu bermuatan politis, baik dari segi kelompok agama pelaku kekerasan maupun dari segi negara. Hal ini, karena perbedaan yang ada di antara berbagai aliran dan paham dalam satu agama dan apalagi di antara agama berbeda cenderung dijadikan sebagai sumber pertikaian, dan takfiri yang sering tidak berujung.
Kenyataan ini terus berlanjut, seolah memperkuat dugaan bahwa wajah agama yang terkesan ambigu, sehingga menimbulkan skeptisisme sebagian orang pada agama. Pada satu pihak, ada wajah agama yang ditampilkan untuk mengajarkan perdamaian, harmoni, dan hidup berdampingan di antara umat beragama yang berbeda sebagai inti dan pokok ajaran agama itu.
Tetapi, pada pihak lain, ada wajah agama yang ditampilkan oleh sebagian kecil penganutnya sebagai wajah yang sangar, dan intoleran, seolah-olah mengajarkan pertikaian dan kekerasan dengan menampilkan ketidakrukunan, tensi, konflik, dan bahkan perang. Keadaan ini, semakin membuat sebagian masyarata phobia terhadap agama dan menganggap agama bukanlah bagian dari solusi tetapi bagian dari masalah.
Sulit ditolak, sebagian orang khususnya para Islampobia menuduh bahwa agama secara inheren (mengajarkan) kekerasan telah diterima begitu saja atau diamini take of granted dan nyata dengan sendirinya self evident. Meskipun ajaran agama yang dipegangi mayoritas umat beragama saat ini adalah agama yang mengajarkan perdamaian dan kecintaan. Bagian terbesar umat beragama adalah orang-orang pencinta damai yang ingin mengabdikan dirinya melalui penyerahan diri sepenuhnya (submission) kepada Tuhan untuk kemaslahatan diri, keluarga, masyarakat, bangsa dan agamanya.