REPUBLIKA.CO.ID, NAYPYIDAW -- Pemimpin Burma, Aung San Suu Kyi, berjanji akan bekerja keras membangun perdamaian dan rekonsiliasi nasional di negaranya. Namun, ia menolak tudingan Muslim Rohingya di Burma sebagai korban kejahatan kemanusiaan.
Suu Kyi sendiri tak memberi detil bagaimana pemerintahannya akan menyelesaikan persoalan kekerasan dan diskriminasi atas minoritas Muslim di Burma. Dia mengaku, tidak ingin Burma berada dalam kondisi tidak stabil. Terlebih, Burma punya sejarah panjang perpecahan.
"Maka, rekonsiliasi nasional jadi hal penting yang tak terelakkan bagi kami. Ini bukan pilihan, ini tak bisa lagi dihindarkan," kata Suu Kyi dalam pertemuan dengan para pelaku bisnis di Singapura, seperti dikutip The Independent, Rabu (30/11).
Suu kyi menambahkan, Burma harus damai dan rekonsiliasi nasional bisa dilakukan. Sehingga mereka yang ingin berinvestasi di Burma pun akan punya kepercayaan.
Suu Kyi sendiri semula dijadwalkan akan berkunjung ke Indonesia setelah mengunjungi Singaputa. Namun, rencana itu ditunda setelah terjadi gelombang protes dan ancaman bom di Kedutaan Besar Burma.
Baru-baru ini, militer Burma dikabarkan melakukan pelecehan seksual, tindak kekerasan, dan pembunuhan atas komunitas Rohingya yang memicu kemarahan umat Islam di Asia. Kabarnya, Perdana Menteri Malaysia Najib Razak bahkan akan ikut serta dalam unjuk rasa atas kekerasan yang ditujukan kepada Muslim Rohingya pekan ini. Sekitar 30 ribu orang mengungsi dari Rakhine dan citra satelit Human Right Watch mendapati ratusan bangunan di desa-desa Rohingya terbakar.
Pemerintah Burma menolak tudingan penyalahgunaan wewenang atas kejadian itu. Pejabat Pemerintah Burma hanya mengatakan, tentara sedang memburu teroris yang melakukan penyerangan terhadap polisi pada Oktober lalu.
Meski tinggal di Burma selama sekian generasi, Muslim Rohingya tak mendapatkan hak kewargannegaraan. Mereka bahkan disebut sebagai komunitas paling tertindah di dunia.
Sejak kekerasan atas komunitas Rohingya pecah pada 2012 lalu, telah lebih dari 120 ribu orang Rohingya dipaksa keluar dari Burma. Mereka tidak bisa mengakses fasilitas kesehatan dan pendidikan. Aneka pergerakan merekapun serba dibatasi.
Suu Kyi memimpin partainya memenangkan pemilihan umum pada tahun lalu. Suu Kyi juga sempat memperoleh Nobel dari mantan Sekjen PBB Kofi Annan.