REPUBLIKA.CO.ID, BEIJING -- Akademisi seringkali berbicara ada sekitar 30 sampai 60 juta anak perempuan di Cina yang hilang entah karena diaborsi atau tewas pascalahir. Hal ini yang sering digunakan untuk menjelaskan mengapa di Cina sekarang ini, jumlah anak laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan.
Peneliti dari Universitas Kansas dan Universitas Normal Shi Yaojiang menemukan, ternyata hal ini disebabkan banyak anak perempuan yang tidak diregistrasikan oleh orang tua mereka. "Orang-orang berpikir 30 juta anak perempuan hilang dari populasi. Itu populasi satu Kalifornia dan mereka pikir anak-anak perempuan itu hilang begitu saja," kata John Kennedy peneliti Universitas Kansas seperti yang dilansir dari washingtonpost.com, Kamis (1/12).
Kennedy menjelaskan, kebanyakan orang menggunakan catatan demografi untuk menarik kesimpulan bahwa aborsi atau kematian paska lahir yang menyebabkan anak-anak perempuan tersebut tidak eksis atau tidak tercatat di sensus. Tapi, ia menemukan, faktanya karena alasan politis. "Tidak ada koordinasi antara petugas yang mengatakan 'kita semua setuju'" kata Kennedy.
Sebenarnya, para petugas hanya mengimplementasikan kebijakan pemerintah. Kennedy mengatakan, para petugas juga orang-orang desa dan sebagai orang desa mereka mengimplementasikan kebijakan pemerintah sesuai dengan apa yang mereka pikirkan.
"Mereka petugas, tapi mereka juga orang desa, dan sebagai orang yang hidup di desa mereka mengimplementasikan kebijakan," katanya.
Cina akhirnya menghapus kebijakan satu keluarga satu anak. Kebijakan ini telah dilakukan selama tiga puluh tahun. Tapi, permasalahan tetap ada karena rasio antara lelaki muda dengan perempuan sangat lebar jaraknya.
"Jika 30 juta anak perempuan hilang, maka ketika anak laki-laki saat ini sudah diumur siap menikah dan mencari istri, mereka akan lebih banyak dibandingkan perempuan," kata Kennedy.