REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pengamat politik dari Cornell University, Thomas Pepinsky menulis opini yang cukup mengejutkan di The Washington Post, Rabu (30/11).
Profesor ilmu pemerintahan itu menilai, presiden terpilih AS Donald Trump dapat dibandingkan dengan presiden kedua Indonesia, Soeharto. Menurut Pepinsky, transisi Trump menjadi presiden diwarnai kepentingan finansial pribadi dan koneksi bisnis keluarga.
Hal itu tergambar dari, misalnya anak dan menantunya Trump, Ivanka dan Jared Kushner, yang berperan besar dalam proses transisi kepresidenan. Demikian pula dengan Eric dan Donald Trump Jr.
“Satu negara yang paralel dengan ini adalah Indonesia di bawah (kekuasaan) mantan presiden Suharto,” tulis Thomas Pepinsky di laman The Washington Post, Rabu (30/11).
Namun, Pepinsky menjelaskan Trump dan Soeharto merupakan dua karakter berbeda. Yang pertama itu mencapai kekuasaan lantaran menang pemilihan umum. Sementara, Jenderal Soeharto menjadi penguasa dengan diwarnai tragedi pembantaian sedikitnya 500 ribu jiwa. Hal lainnya, Trump merupakan pebisnis sekaligus bintang TV sebelum menjadi presiden.
Namun, Pepinsky menegaskan, pendapatnya itu tidak berarti ia menyamakan dua sosok dari negara-negara yang berbeda.
“Alih-alih, untuk melihat apa hikmah yang bisa kita petik ketika kepentingan pribadi keluarga, politik, dan bisnis bercampur,” ujar dia.
Dalam separuh masa kekuasaannya, menurut Pepinsky, Soeharto menguasai sumber-sumber daya politik dan ekonomi di sekitarnya, khususnya terkait BUMN dan pembuatan kebijakan yang dipengaruhi para teknokrat. Menjelang 1980-an, peran orang-orang dekat Soeharto dalam perekonomian nasional kian jelas.
“Itu termasuk anak-anaknya, khususnya Tutut dan Tommy; sepupu Sudwikatmono; saudara tirinya Probosutedjo; dan menantunya, Prabowo Subianto,” kata Pepinsky.
Nuansa yang mencuat adalah nepotisme dan ketidakadilan. Dia melanjutkan, kasus Indonesia ini mengajarkan tiga hal kepada bangsa Amerika Serikat (AS).
Pertama, pelayanan publik menjadi tidak efektif. Kedua, penguasa menjadi “buta” terhadap masalah korupsinya sendiri. Ketiga, favoritisme terhadap keluarga terdekat rezim menjadi sinyal buruk bagi pasar.
Pepinsky mencontohkan, ketika Indonesia ditimpa krisis finansial sejak 1997, ada banyak bank yang harus dilikuidasi. Dua di antaranya merupakan milik anggota keluarga Soeharto.