Kamis 01 Dec 2016 19:47 WIB

Jimly: Ada Kekecewaan Ekonomi di Luar Masalah Ahok

Rep: Umar Mukhtar/ Red: Andi Nur Aminah
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie
Foto: Republika/ Darmawan
Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Ketua Ikatan Cendekiawan Muslim se-Indonesia (ICMI) Jimly Asshiddiqie menuturkan memanasnya suhu politik yang bermula dari kasus penistaan agama perlu dipahami para elit negara. Menurut dia, panasnya situasi negara yang terjadi belakangan bukan sekadar persoalan Ahok, pilkada, ataupun penistaan agama.

"Ini masalah serius, ada gap antara elit dengan masyarakat. Kita harus memahami ada masalah yang lebih serius dari sekadar masalah Ahok, pilkada dan penistaan agama. Tapi masalahnya ini jadi melebar," ujar dia, di kantor DKPP, Jakarta, Kamis (1/12).

Karena itu, Jimly mengatakan, pemerintah tidak boleh bersikap simplisistis saat memandang persoalan tersebut. Masyarakat harus tetap diarahkan untuk tetap tenang agar tidak emosional. Pejabat terkait, lanjut dia, harus memahami kondisi ini.

"Jadi jangan sekadar dianggap enteng, aspirasi rakyat itu jangan sampai enggak didengarkan. Mesti dipahami hakekat di balik peristiwa ini. Ini kan seperti gunung es. Jadi, ini bukan soal Ahok kalau saya lihat. Ini sudah merembet rembet. Maka perlu dialog soal keadilan," tutur dia.

Di balik masalah tersebut, Jimly menambahkan, terdapat kekecewaan terhadap adanya kesenjangan sosial-ekonomi, baik itu kesenjangan vertikal. Seperti hubungan antara si kaya dan si miskin. Atau, yang sifatnya horizontal yaitu yang berkaitan dengan suku, etnis, dan antar agama.

"Jadi ada etnis tertentu menguasai ekonomi padahal jumlahnya minoritas. Nah yang mayoritas itu tidak menguasai ekonomi. Ini tidak proposional," kata dia.

Persoalan yang terjadi belakangan ini, menurut Jimly, terjadi karena bergulirnya banyak isu krusial hingga akhirnya memuncak seperti kondisi saat ini. Masalah tersebut pun tidak boleh dilihat secara dikotomis. Artinya, para pendemo itu tidak boleh dijustifikasi sebagai pihak yang anti-Pancasila, anti-pluralisme, atau anti-kebhinnekaan.

"Nah ini bisa menimbulkan salah paham lagi. Jadi saya rasa kita harus buka dialog dengan masyarakat," tutur dia.

Apalagi, lanjut Jimly, kalangan buruk berniat ikut dalam aksi pada 2 Desember besok. Hal ini menandakan persoalan menjadi terus melebar. Ia pun berharap mahasiswa tidak sampai ikut dalam aksi 2 Desember ini.

"Sebelum mahasiwa ikut juga, saya rasa, adakan dialog yang jujur, bukan dialog yang sifatnya menghakimi. Seakan-akan yang ini anti-NKRI, anti-pluralisme," kata dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement