REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Harga energi gas yang tinggi di Indonesia memaksa PT Pupuk Indonesia (Persero) mengurangi produksi pupuk nonsubsidi. Sebab, biaya gas meliputi 70 persen biaya produksi pupuk.
"Lebih lagi sekarang harga internasional sedang anjlok," kata Head of Corporate Communication Pupuk Indonesia Wijaya Laksana, Jumat (2/12).
Ia mengatakan, dulu harga pupuk urea 300 dolar AS per ton namun sekarang berada di kisaran 200 dolar AS per ton. Angka 200 dolar AS per ton diperkirakan akan bertahan hingga akhir 2017. Sementara itu, biaya produksi pupuk Indonesia sebesar 260 dolar AS per ton.
"Dampaknya jadi sulit bersaing di pasar internasional," katanya.
Pengurangan produksi nonsubsidi menurutnya harus dilakukan untuk mengurangi kerugian yang ada. Padahal, dulu pupuk non subsidi merupakan primadona sumber keuntungan bagi Pupuk Indonesia.
Pupuk Indonesia mengalokasikan 20 persen dari total produksi untuk pupuk non subsidi. Sisanya yakni 80 persen untuk pupuk nonsubsidi. Kendati hanya 20 persen, namun diakui Wijaya keuntungannya mencapai 80 persen.
"Kita bisa berkembang, bangun pabrik baru kan dari laba tapi sekarang berbalik karena kita nggak bisa bersaing," lanjut dia.
Namun, ia menambahkan, tingginya harga gas tidak akan mempengaruhi produksi dalam negeri. "Yang jelas kalau untuk domestik produksinya aman," tegas dia.
Kapasitas desain produksi pabrik Pupuk Indonesia sebesar 8,8 juta ton per tahun meski realisasinya hanya 7,9 juta ton urea. "Kalau total dengan pupuk lain 13,3 juta ton," katanya.
Sementara kebutuhan pupuk nasional secara total menurutnya mencapai 13 juta ton dan yang disubsidi 9,55 juta ton.