REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA – Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi M Mahfud MD menilai sejumlah tokoh nasional termasuk Rachamawati Soekarnoputri yang ditangkap polisi karena tuduhan makar, tidak paham tentang MPR. Sebelumnya, delapan tokoh nasional ditangkap karena diduga berencana memaksa MPR bersidang.
‘’Mungkin mereka berpikir seperti di zaman Pak Harto atau Gus Dur, Presiden bisa dijatuhkan. Ingat, Gus Dur jatuh itu 2001, belum ada UUD yang diamandemen. UUD yang diamandemen baru berlaku sesudah pemilu hasil 2004,’’ jelas Mahfud pada wartawan di Kepatihan Yogyakarta, Jum’at (2/12).
Saat ini, kata dia, tidak bisa memaksa MPR untuk memberhentikan presiden. Hal ini karena, setelah Undang-Undang Dasar (UUD) diamandemen, MPR tidak punya kewenangan untuk menjatuhkan kepala negara.
MPR tidak boleh memberhentikan presiden tanpa melalui impeachment atau proses pendakwaan terlebih dahulu dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Kemudian pendakwaan tersebut diputus oleh Mahkamah Konstitusi, dan kembali ke DPR lagi, selanjutnya ke MPR. ‘’Kalau MPR diduduki kemudian memaksa MPR, tidak ada prosedurnya dalam konstitusi," ujarnya.
"Malah jika MPR menerima mereka dan melakukan itu, MPR-nya bisa dianggap makar,’’ kata Mahfud.
Menurut Mahfud, tuduhan makar ini adalah hal yang serius. Karena itu, dia meminta pihak kepolisian melakukan tugasnya selama mereka memang mengantongi beberapa bukti. ‘’Apabila memang terbukti ada makar di 212, polisi harus segera mengumumkan langkah apa yang akan ditempuh, dan semuanya bersifat transparan. Kalau ada hal-hal lain yang merupakan langkah-langkah menjatuhkan pemerintah secara tidak sah, itulah makar, dan itu bisa ditindak,’’ ungkap dia.
Kedelapan tokoh nasional yang ditangkap karena tuduhan makar tersebut yakni Kivlan Zein, Ahmad Dhani, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Adityawarman Thaha, Firza Huzein, Rachmawati Soekarnoputri, dan Rizal Kobar.