REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Di zaman Nabi Muhammad SAW, dirham dan dinar ditetapkan sebagi alat tukar yang sah dalam perniagaan, juga menstandarkan tiga jenis dirham yang beredar kala itu menjadi satu jenis dirham, yakni dirham 14 qirat.
Dalam proses penimbangan bobot dinar dan dirham sendiri, Nabi Muhammad SAW dibantu oleh seorang sahabatnya, yakni Arqam bin Abi Arqam. Dia adalah seorang ahli tempa emas dan perak pada masa itu. Pada masa Umar bin
Khatab, ia menegaskan perihal timbangan atau bobot berat emas dan perak, yakni tujuh dinar bobot atau nilainya setara dengan 10 dirham.
Selain itu, Umar pun memerintahkan agar dirham dan dinar pada masa itu diberi tulisan hamdalah dan Muhammad Rasulullah. Adapun dinar pertama milik pemerintahan Islam baru lahir ketika masa pemerintahan Abdul
Malik bin Marwan. Tepatnya, sekitar 50 tahun pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW.
Adapun bobot atau berat dinar Abdul Malik bin Marwan mengacu pada solidus, yakni mata uang Romawi
Byzantium yang lazim beredar saat itu. Ia tidak membuatnya berdasarkan standar mitsqol yang
biasa digunakan pada zaman Nabi Muhammad SAW.
Selanjutnya, ekspansi yang dilakukan Islam ke wilayah kekaisaran Persia (Irak, Iran, Bahrain, dan Transoxania) dan kekaisaran Romawi (Syam, Mesir, dan Andalusia), menyebabkan perputaran mata uang ini meningkat. Bahkan, pada masa pemerintahan Imam Ali, dinar dan dirham merupakan satu-satunya mata uang yang digunakan. Hal tersebut karena dinar dan dirham memang dinilai memiliki nilai yang tetap.
Oleh sebab itu, tidak terjadi masalah atau kendala dalam proses perputaran uang tersebut.
Karena nilainya tetap, dinar dan dirham, selain digunakan untuk melakukan transaksi jual-beli, dipakai pula untuk menunaikan zakat. Imam Hanafi, misalnya, pernah berkata, “Bahwa ukuran nisab zakat yang disepakati ulama, bagi emas adalah 20 mitsqal dan telah mencapai satu haul (satu tahun) dan bagi perak adalah 200 dirham.”
(Baca: Ahli Sejarah: Dinar Alat Tukar Bernilai Stabil)
Imam Asy-Syafii dalam Kitab Al-Umm juga pernah berujar, “Rabi meriwayatkan bahwasannya
Imam Asy-Syafii berkata, tidak ada perbedaan pendapat (ikhtilaf) bahwasannya dalam zakat emas itu adalah 20 mitsqal (dinar).” Kendati memiliki kelebihan, yakni nilainya yang selalu tetap atau tidak berubah serta da pat
pula digunakan untuk menunaikan zakat, pemanfaatan emas dan perak sebagai mata uang telah ditinggalkan.
Padahal, sejarah Islam telah membuktikan bahwa mata uang emas dan perak dapat menghindarkan masyarakat dari bencana ekonomi, seperti inflasi dan deflasi. Imam Al Ghazali pernah berkata, “Di antara nikmat Allah SWT adalah penciptaan dinar dan dirham dan dengan keduanya tegaklah dunia. Keduanya adalah batu yang tiada manfaat dalam jenisnya, tapi manusia sangat membutuhkan kepada keduanya.”