REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan aktivis mahasiswa yang juga politisi Partai Gerindra, Ferry Juliantono mengecam istilah percobaan makar yang dituduhkan polisi terhadap para aktivis yang ditangkap pada Jumat (2/12) pagi kemarin. Menurutnya, istilah makar tidak tepat digunakan untuk para aktivis mengingat disebut makar jika telah ada upaya dilakukan namun gagal.
Menurutnya, para aktivis hanya hendak ikut dalam aksi Damai Bela Islam di Monumen Nasional yang berkaitan dengan penuntutan kasus dugaan penistaan agama. Bukan untuk menggulingkan pemerintahan.
"Kan enggak ada yang minta (penggulingan) itu. Makanya ini belum dilakukan sudah dituduh makar, bukti yang jelas dulu. Kita jangan ikut dalam persepsi yang terbangun pihak kepolisian terkait makar ini," ujar Ferry dalam diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/12).
Ia menyebut, kalau pun para aktivis kritis terhadap pemerintahan, bukan berarti kemudian mereka disebut berupaya melakukan makar. Pasalnya, kebebasan untuk menyuarakan pendapat kepada pemerintah juga dijamin oleh Undang-Undang.
Ia pun menyebut, jika ketegori itu dikatakan sebagai percobaan makar, maka hal itu sama saja dengan pembungkaman terhadap suara rakyat. "Ya jangan kemudian kritis dianggap makar, lalu kita tidak bisa menilai sikap kritis dengan makar, ini proses pembungkaman dengan tuduhan makar ini," ujarnya.
Ferry, yang juga mantan tahanan politik ini saat menjadi aktivis terdahulu mengatakan, pasal makar yang dikenakan terhadap para aktivis juga sangat berlebihan. Hal ini karena pasal makar paling langka digunakan di negara demokrasi.
"Terakhir saya ditangkap pada era SBY, pasal paling tinggi itu soal penghasutan. Tapi pasal makar itu paling langka dipakai dalam pemerintahan demokrasi," ujarnya.
Diketahui, aparat kepolisian mengamankan sejumlah aktivis sebelum aksi damai Bela Islam berlangsung pada Jumat (2/12) pagi. Mereka diantaranya 10 orang yakni Adityawarman, Kivlan zein, Racmawati Soekarnoputri, Ratna Sarumpaet, Sri Bintang Pamungkas, Jamran, Rizal Kobar, Eko Suryo, Jamran, Ahmad Dani. Belakangan bertambah menjadi 11 orang berinisial AF.
Dari kesebelasnya, penyidik Polri melakukan penahanan terhadap tiga orang berkaitan penghinaan dan pencemaran nama baik yang dijerat dengan Undang-undang ITE. Sedangkan satu lainnya dijerat pasal pemufakatan jahat. Sementara delapan tersangka sisanya telah dilepaskan oleh penyidik Polri.
"Tiga orang ini berinisial JA, R, SBP, dalam kaitan brrbeda, JA dan R terkait UU ITE. SBP terkait pemufakatan jahat menggulingkan pemerintah yang sah," ujar Kabag Penum Divisi Humas Polri Kombes Pol Martinus Sitompul dalam acara diskusi di Cikini, Jakarta Pusat, Sabtu (3/12).
Menurutnya, penahanan kepada ketiganya dimulai Jumat malam kemarin pada pukul 22.00 WIB untuk 20 hari kedepan. Sementara, tujuh tersangka lainnya dilepaskan karena alasan subjektif para penyidik.
Namun kepada delapan tersangka yang dilepas tersebut, prosesnya akan terus dilanjutkan oleh penyidik Polri. Delapan orang tersebut, kata Martinus, diduga melakukan pemufakatan jahat dan dijerat pasal 107 juncto pasal 110 juncto pasal 87 KUHP
"Ada pemukahatan jahat yang bertujuan menguasai Parlemen, itu dilakukan upaya upaya membuka pintu-pintu pagar dan dilakukan impeachment, itu sudah jelas tertulis di broadcast, di youtube juga ada disitu ada polanya untuk mengganti pemerintahan yang sah. Ini kami kategorikan pasal soal pemufakatan jahat," ujar Martinus.