REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Polri mengklaim penangkapan 11 aktivis pada Jumat (2/12) murni penegakan hukum. Polri juga mengatakan penangkapan tersebut untuk menjaga kemurnian Doa Bersama 212 yang digagas para alim ulama.
"Hal itu adalah murni penegakan hukum dan menjaga agar kemurnian niat dari sejumlah ulama yang dipelopori Gerakan Nasional Pengawasl Fatwa MUI yang datang ke Monas pada Jumat (2/12) adalah untuk beribadah," kata Kepala Divisi Hubungan Masyarakat Mabes Polri Irjen Pol Boy Rafli Amar, Senin (5/12).
Dia mengatakan kepolisian sudah lama mengimbau dan menjalin komunikasi persuasif agar tidak ada pihak-pihak yang memanfaatkan kegiatan Doa Bersama tersebut.
"Kita lihat dalam Doa Bersama, semua pihak komit, pukul 13.00 WIB, dan pukul 16.00-17.00 WIB sudah bersih. Langkah itu memang kami rancang bersama GNPF MUI, mulai dari tempat di Hotel Indonesia dan Silang Monas," ujarnya.
Boy mengatakan Polri mendeteksi ada hal-hal yang tidak baik sehingga tidak mungkin institusi tersebut mendiamkan deteksi dini tersebut. Dia menjelaskan penangkapan aktivis itu sudah sesuai prosedur. Menurut dia, upaya paksa yang dilakukan Polri diatur dalam hukum.
"Polri patuh pada UU dan konstitusi negara. Setiap langkah Polri pasti ada yang menimbulkan ketidaksukaan karena kami memiliki kewenangan upaya paksa yang diatur UU," katanya.
Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Bambang Soesatyo mengkritik keras langkah Polri menangkap 11 aktivis pada Jumat (2/12).Dia mengatakan tindakan Polri itu mengingatkan masyarakat dengan tindakan pemerintah di era Orde Baru, padahal pemerintahan saat ini lahir di era reformasi sehingga cara-cara penangkapan yang dilakukan Polri harus dihindari.
Bambang mengatakan masih banyak cara elegan yang tidak melanggar kesepakatan demokrasi yang saat ini menjadi pilihan bangsa Indonesia.
"Jika memilih cara demokrasi jangan membatasi cara-cara berpendapat," ujarnya.