REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Wartawan Republika, Syahruddin El-Fikri
Dunia ini adalah senda gurau. Dunia ini hanya permainan. Dan dunia ini hanyalah kesenangan yang menipu. Demikian keterangan Alquran dalam Surah al-An’am [6]: 32, Al-Ankabut: 64, Muhammad: 36, dan al-Hadid: 20).
“Wong urip iku mung mampir ngombe” (Orang hidup itu hanya sekadar untuk mampir minum). Demikian istilah Jawa.
Karena hal itu pula, banyak ahli tarekat yang melakukan uzlah (mengasingkan diri) dari urusan dunia dengan tujuan agar mereka bisa lebih dekat kepada Allah. Bahkan, banyak para sufi yang sengaja enggan untuk melirik masalah dunia. Kalau pun ‘melirik’, itu hanya sebatas sebagai bekal untuk meneruskan perjalanan menuju kehidupan akhirat yang lebih hakiki (abadi).
Ada sebuah kisah menarik berikut ini, yang layak kita renungkan sebagai muhasabah diri. Harun Ar-Rasyid, khalifah terbaik dari Bani Abbasiyah, dikenal sebagai pemimpin yang adil dan bijaksana. Kewibawaannya sangat disegani kawan maupun lawan. Suatu hari, Khalifah Harun Ar-Rasyid merasa gelisah. Padahal, kekuasaannya sudah begitu luas, harta dan kekayaannya berlimpah, istirnya pun cantik jelita. Namun, ia merasa ada yang kurang dari dirinya.
Khalifah pun kemudian memerintahkan para hulubalangnya untuk mencarikan seorang ulama agar memberikan nasihat kepadanya. Sudah beberapa ulama yang datang kepadanya, namun tak satu pun mampu menghilangkan keresahan hatinya. Para ulama itu dianggapnya cenderung memberi nasihat di awing-awang, kurang menyentuh.
Setelah mencari sekian lama, akhirnya ada seorang ulama yang penampilannya sangat sederhana, namun tampak berwibawa. Awalnya, sang khalifah kurang menyukai bila dilihat dari penampilan ulama ini. Tapi, karena ia sudah meminta, akhirnya sang khalifah pun mau meladeninya.
Khalifah langsung fokus pada tujuannya. “Berikanlah nasihat terbaik kepadaku,” ujar Khalifah Harun Ar-Rasyid. Sang ulama zahid ini pun kemudian menimpali, “Bukankah sudah banyak ulama yang memberikan nasihat kepadamu dengan dalil-dalil Alquran dan hadis Nabi Muhammad SAW?” “Betul, tetapi nasihat mereka belum ada yang bisa aku terima, karena isinya tidak menyentuh hati agar aku semakin lebih baik,” jawab khalifah.
“Baiklah kalau begitu. Sebelum saya memberikan nasihat padamu, berikanlah saya satu gelas air putih agar bisa kita minum bersama,” ujarnya.
Khalifah memerintahkan hulubalang kerajaan bersegera mengambilkan air putih dua gelas, yang satu untuk ulama dan satu gelas lainnya untuk dirinya.
Ketika air putih di dalam gelas itu sudah ada di depannya, Khalifah Harun Ar-Rasyid mengajak sang ulama untuk bersama-sama meminum air putih tersebut. “Sebelum Anda meminumnya, bolehkah saya bertanya kepada Anda,” tanya sang ulama. Khalifah pun mempersilakannya.
“Seandainya Anda berjalan jauh di padang pasir yang sangat panas dan tandus, sementara Anda tidak membawa air minum, dan Anda sudah sangat kehausan. Bila Anda tidak segera mendapatkan air minum, maka Anda akan mati kehausan. Di saat bersamaan, ada seorang musafir yang datang dan memiliki setengah gelas air. Berapa Anda akan membayar setengah gelas air itu agar Anda bisa tetap hidup?” tanya sang Zahid.
Khalifah Harun Ar-Rasyid menjawab: “Saya akan memberikan setengah kekayaan kerajaan untuk mendapatkan air itu agar saya bisa bertahan hidup dan selamat,” ujar khalifah mantap. Keduanya kemudian bersama-sama minum air yang sudah disediakan tadi.
Sang ulama kemudian melanjutkan pertanyaannya. “Kita baru saja minum setengah gelas air. Sekarang, seandainya air yang Anda minum tadi mengandung penyakit dan dapat menyebabkan kematian. Di saat bersamaan, ada seorang tabib yang mempunyai sedikit obat, tetapi harganya sangat mahal. Maka, agar Anda selamat, berapa Anda akan membayar obat tersebut untuk mengeluarkan setengah gelas air yang sudah Anda minum tadi?”
Sang khalifah dengan bersemangat menjawab; “Demi kesembuhan saya, maka saya siap menebus obat itu walau dengan setengah dari kekayaan kerajaan ini,” ungkapnya. Khalifah mulai kesal, karena ia ingin meminta nasihat dari sang ulama, justru pertanyaan-pertanyaan yang diberikan. “Saya memerlukan nasihatmu, wahai ulama,” kata khalifah dengan tegas.
Ulama itu pun menjawab: “Wahai tuan, sebenarnya saya sudah memberikan nasihat untukmu. Anda minum air, lalu Anda akan membayar setengah dari kekayaan Anda agar bisa tetap hidup. Lalu, Anda minum setengah gelas air, dan karena diduga mengandung penyakit yang dapat membahayakan hidup Anda, maka Anda akan menebus obat yang Anda beli dengan harga setengah dari kekayaan Anda.”
“Benar,” kata khalifah. “Lalu nasihat apa yang engkau berikan padaku,” tanya khalifah lagi.
“Ketahuilah tuan, sesungguhnya hidup Anda, kekayaan dan kekuasaan Anda yang luas ini, harganya tidak lebih dari segelas air. Itu artinya, kita hidup harus banyak bersyukur atas semua anugerah yang diberikan Allah SWT,” kata ulama tersebut menasihati Khalifah Harun Ar-Rasyid. Mendengar hal itu, maka menangislah sang khalifah.
Dari cerita di atas, sudah selayaknya kita banyak mendekatkan diri kepada Allah, memperbanyak muhasabah (evaluasi) diri, agar terhindar dari hal-hal yang tak berguna. Allahu a’lam.