REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Abad ke-14, masa Ibnu Battuta hidup, merupakan masa yang cukup makmur. Setidaknya, dalam tiga dasawarsa pertama di dunia Afrika dan Asia-Eropa. Namun, paruh kedua abad itu bertolak belakang, yakni banyak diwarnai musibah besar dan kekacauan ekonomi.
Wabah yang terjadi bukan hanya pes (Black death) yang menelan hingga 200 juta korban jiwa dan memuncak di Eropa. Wabah pes ini mengurangi hasil panen dan populasi secara drastis di Eropa, Timur Tengah, dan barangkali dampaknya sampai ke India dan Cina.
(Baca: Awal Mula Perjalanan Ibnu Battuta Dibukukan)
Pada masa mencekam itulah Ibnu Battuta justru sampai pada tahap akhir perjalanannya. Hampir semua negeri yang pernah dijelajahinya kemudian menjadi runtuh (misalnya Dinasti Yuan di Cina, Kerajaan Ilkhanids di Persia), memburuk (Kesultanan Delhi, Byzantium), atau mengalami pelbagai gejolak politik (Kerajaan Kipchak Khan dan Chagatay Khan, serta Kesultanan Mamluk, Kerajaan Mali, dan Granada).
Pulang dari perjalanannya, ia kembali ke kampung halamannya. Di sana, Ibnu Battuta menghabiskan tahun-tahun terakhirnya di tengah situasi politik yang cukup bergemuruh, yakni ancaman perpecahan negeri Marinid.
Pasukan Sultan Abu 'Inan menyerbu Ifriqiya dan Tunis pada 1357. Namun, ia terpaksa mundur beberapa bulan kemudian. Sepeninggalan Sultan Abu 'Inan, tidak ada raja dari Negeri Marinid yang cakap.
(Baca Juga: Petualangan Ibnu Battuta Jadi Sorotan Barat)
Menjelang wafatnya, Ibnu Battuta menyaksikan kemunduran negeri yang ia cintai. Namun, kayakinannya mengenai kejayaan Islam tak tergoyahkan. Benar saja. Memasuki abad ke-15, para ilmuwan dan ulama Islam dengan giat tersebar ke penjuru luar Timur Tengah, yakni Afrika Barat, terutama Asia Tenggara. Bahkan, menjelang dimulainya kolonialisme Eropa, Islam baik sebagai keyakinan maupun peradaban, terus berlanjut dan menyebar ke negeri-negeri jauh.
Ibnu Battuta mengembuskan napas terakhirnya pada 1368 Masehi atau 700 Hijriyah. Tidak ada satu sejarawan pun yang yakin di mana persis letak makamnya. Di Tangier sendiri, hingga kini ada sebuah tugu makam yang dianggap sebagai peninggalan Ibn Battutatetapi keasliannya cukup meragukan.