REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Suhardi Alius menyatakan banyak kelompok terorisme yang memanfaatkan dunia maya atau cyber space untuk mendukung berbagai aksi terorismenya. Menurut Suhardi, mereka menggunakan cyber space tersebut untuk menentukan target wilayah yang akan diserang, membuat pelatihan jarak jauh, dan menghimpun dana untuk melancarkan aksi terorisme serta membuat pemetaan penyerangan.
"Karena itu revisi undang-undang 15 tahun 2003 tentang pemberantasan tindak terorisme ini diharapkan nanti bisa menjadi ruang yang cukup bagi aparat penegak hukum dalam menangani aksi tindak pidana terorisme," tutur dia dalam agenda pembahasan revisi UU Terorisme di Jakarta, Selasa (6/12).
Revisi tersebut mendesak dilakukan karena UU 15 2003 yang berlaku saat ini belum mengatur ihwal pencegahan terhadap aksi tindakan terorisme. Selama ini aparat penegak hukum pun tidak bisa menindak kelompok yang melakukan pelatihan militer yang diketahui untuk berbuat aksi terorisme.
Selain itu, undang-undang tersebut pun belum mengatur tentang pelatihan militer yang dibikin kelompok terorisme, termasuk mereka yang telah melakukan latihan militer di dalam dan luar negeri. Juga, belum mengatur ihwal perekrutan anggota dan penghasutan. Akibatnya, pelaku menjadi tidak bisa ditindak pidana.
"Kebutuhan Indonesia akan undang-undang tentang terorisme yang kuat dan komprehensif itu mendesak. Agar mampu menjawab masalah seperti penggunaan modus senjata nuklir, dunia maya dan sebagainya," kata dia.