Kamis 08 Dec 2016 09:17 WIB

Perlawanan Kopi di Kaki Kerinci

Gunung Kerinci
Foto: antara
Gunung Kerinci

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Sapto Andika Candra, wartawan Republika

Peneliti bahasa dari pemerintah kolonial Belanda, Petrus Voorhoeve, pernah menemukan satu naskah kuno di kaki Gunung Kerinci pada tahun 1941. Saat itu, ia belum tahu persis apa isi naskah yang menunjukkan adanya budaya tua di Lembah Kerinci yang dikenal subur tersebut. Masuknya tentara Jepang ke tanah Sumatra membuat penelitiannya mandek. Ia sempat mengira naskah kuno yang kemudian dikenal sebagai Naskah Tanjung Tanah itu hilang.

Sempat terhenti, pengkajian yang berujung pada temuan besar itu dilanjutkan oleh peneliti asal Jerman, Uli Kozok. Nyaris enam dekade setelah penemuan pertamanya, Naskah Tanjung Tanah kembali ditemukan utuh di sebuah desa di Lembah Kerinci. Naskah yang juga disebut sebagai surat ulu itu kelak mengguncang dunia sebagai naskah Melayu tertua yang pernah ditemukan.

Goresan aksara pasca-Palawa dan surat incung di atas kulit kayu deluang itu merujuk pada penanggalan di abad ke-13 hingga abad ke-14 Masehi. Hasil uji radiokarbon atas materi naskah yang ditemukan, menunjukkan bahwa kebudayaan Melayu di Lembah Kerinci telah lahir lebih dulu dibanding daerah lainnya.

Dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Tanjung Tanah, Naskah Melayu yang Tertua di tahun 2006, Kozok menyebutkan bahwa daerah pedalaman Kerinci memiliki peran strategis dalam peta politik dan ekonomi di Jambi dan Sumatera Selatan. Ia menjelaskan, meski terletak jauh dari jalur perdagangan di Selat Malaka, Kerinci dikenal sebagai pusat komoditas pertanian, hasil hutan, dan pertambangan.

Antropolog asal Inggris, C.W. Watson, pada medio 1970-an bahkan menyebut Kerinci sebagai daerah penting bagi Indonesia namun jarang diminati pakar. Catatan Kozok menyebutkan, hasil hutan dan perkebunan dari Kerinci sudah diperdagangkan ke luar Jambi jauh sebelum abad ke-15.

Kondisi geografis dan kekayaan ekologi yang dimiliki kawasan hutan di Kerinci membuat wilayah ini menjadi pusat pertanian dan perkebunan. Sejak dulu, masyarakat yang hidup di kaki Gunung Kerinci terbiasa menggantungkan hidup dari bercocok tanam dan membudidayakan varietas tanaman yang tumbuh subur di dataran tinggi. Sejumlah komoditas yang sejak dulu dihasilkan di Kerinci adalah teh, sayur mayur, kayu manis, dan kopi. Berkembangnya kebudayaan Melayu kuno di tanah Kerinci yang subur dan secara turun menurun dilestarikan oleh masyarakat di Lembah Kerinci membuat pekerjaan sebagai petani menjadi satu profesi utama.

Akhirnya, semakin ke sini kebutuhan ekonomi pun bicara. Meningkatnya permintaan atas sayur, kayu manis, dan kopi dari Kerinci membuat masyarakat yang terbiasa hidup di bawah aturan adat mencari cara untuk menambah produktivitas. Satu-satunya jalan, menambah luas lahan untuk diolah.

Bagi sebagian masyarakat adat yang hidup di Lembah Kerinci, mereka sebetulnya diuntungkan dengan adanya aturan adat yang berjalan sejak zaman nenek moyang. Satu desa adat memiliki satu ajun arah atau pengelolaan tanah bagi keluarga yang mendiami desa itu, di satu wilayah lain di atas bukit. Gampangnya, satu keluarga yang tinggal di Desa Adat Kemantan misalnya, memiliki wilayah untuk bercocok tanam di luar hutan adat mereka. Kondisinya berubah ketika pemerintah menetapkan kawasan adat mereka menjadi taman nasional pada 1999. Ruang kelola semakin terbatas.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement