REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Iganisus Jonan mengatakan, pihaknya akan membuat aturan baru yang mengatur soal kontrak kerja sama jual beli atau Power Purchase Agreement (PPA). Hal ini menyusul banyaknya proyek pembangkit listrik yang mangkrak.
Jonan mengatakan ke depan, apabila independent power producer (IPP) atau perusahaan produsen listrik swasta dan PLN bekerja sama untuk membangun proyek pembangkit listrik maka keduanya harus menyepakati denda yang akan dikenakan jika salah satu di antaranya tak siap menyelesaikan proyek. Hal ini, menurut Jonan, penting agar pelaksanaan penyelesaian proyek tak melulu mangkrak.
"Jadi ke depan dendanya jangan denda kuaci, denda yang harus bisa bikin mereka tobat. Delivery or pay, jangan lagi take or pay," ujar Jonan di Jakarta, Kamis (8/12).
Wakil Menteri ESDM, Archandra Tahar mengatakan PPA haruslah bersifat dinamis. Keterlambatan pembangunan pembangkit listrik harus disikapi secara tegas. Ia mengatakan, antara IPP dan offtaker harus sudah bisa menentukan jadwal pembangunan.
Ia mengatakan nantinya peraturan ini tidak hanya memberatkan sebelah pihak. Ketika PLN dan IPP sama-sama bisa melaksanakan kontrak secara baik maka tak perlu dikenakan denda. Namun jika salah satu ternyata tak siap menyelesaikan proyek, maka denda yang dibebankan kepada dua belah pihak akan adil.
"Nah kalau IPP telat dia kena penalti. Tapi kalau mereka on time, tapi PLN nggak ready artinya PLN kena denda. Jadi dua belah pihak ya," ujarnya.
Menanggapi hal tersebut, Direktur Utama PLN, Soyfan Basir mengatakan setuju atas usulan pemerintah dalam mengatur PPA yang baru. Ia mengatakan PLN selama ini perlu merogoh kocek yang dalam untuk memenuhi kebutuhan suplai listrik.
Ia mengatakan selama ini IPP mendapatkan denda yang kecil jika tidak bisa menyelesaikan proyek. Ke depan, jika memang pemerintah memberlakukan denda yang lebih rasional hal tersebut bisa membuat proyek pemenuhan suplai listrik bisa memadai.