Tapak-tapak Perjalanan Ulama-Patriot KH Sholeh Iskandar
Mengenang Jendral Nasution, Laskar Hizbullah, dan Kesejatian Cinta NKRI
Oleh: Lukman Hakiem, mantan staf perdana Menteri M Natsir dan Staf Ahli Wapres 2001-2004
----------------
Menulis tentang K.H. Sholeh Iskandar (1922-1992) adalah menulis tentang seorang ulama-patriot yang komitmen asasinya terhadap keislaman dan keindonesiaan sungguh-sungguh utuh, dan tanpa pamrih. Masih di zaman penjajahan Belanda, lelaki kelahiran Kampung Gunung Handeuleum, Desa Situ Udik, Kecamatan Cemplang, Kabupaten Bogor itu sudah tampil sekaligus memimpin Barisan Islam Indonesia (BII), dan Pemuda Gerakan Indonesia (Gerindo).
BII adalah organisasi kepanduan yang berada di bawah naungan Al-Ittihadiyatul Islamiyah (Persatuan Ummat Islam) yang pembentukannya diprakarsai oleh murid-murid K.H. Ahmad Sanusi (1306/1888-1369/1950) dalam sebuah pertemuan di Pesantren Babakan, Cicurug, Sukabumi, pimpinan K.H. Muhammad Hasan Basri pada bulan November 1931.
Pemuda Gerindo adalah organisasi kepemudaan yang berafiliasi kepada partai nasionalis kiri, Gerindo, yang dibentuk pada 24 Mei 1937 untuk menggantikan Partai Indonesia (Partindo) yang Sukarnois dan menjadi lawan Partai Indonesia Raya (Parindra) yang konservatif. Para pemimpin Gerindo antara lain A.K. Gani, Amir Sjarifuddin, dan Muhammad Yamin. Aktivitas partai ini sangat dibatasi sejak Mei 1940, untuk akhirnya hilang dari peredaran.
Dengan latar belakang pergerakan seperti itulah, tidak mengherankan jika Sholeh Iskandar menjadi tokoh yang memiliki jaringan luas –modal yang sangat penting di dalam menggerakkan perjuangan mempertahankan dan mengisi kemerdekaan. Dengan modal itu, sebagai Komandan Laskar Hizbullah/Sabilillah di daerah Bogor Barat, saat laskar-laskar perjuangan dilebur ke dalam Tentara Nasional Indonesia (TNI), Sholeh Iskandar yang saat itu menjadi Komandan Batalyon 0/Hizbullah dipercaya menjadi Komandan Sektor IV Brigade Tirtayasa Divisi Siliwangi dengan pangkat Mayor.
Eksistensi Mayor Sholeh Iskandar dan pasukannya di masa perang kemerdekaan dicatat oleh Jenderal Dr A H. Nasution. “Kami berkunjung pula ke Resimen Jayarukmantara di Rangkasbitung, kemudian ke front Bogor Barat, di mana Mayor H. Dasuki dari Resimen 2 bertanggungjawab. Daerah ini diperkuat oleh pasukan-pasukan asal Hizbullah, dipimpin oleh Mayor Soleh Iskandar.”
Dalam konteks ini mudah dipahami kekecewaan Sholeh Iskandar terhadap pendapat Letnan Jenderal TNI (Purn) Sayidiman Suryohadiprodjo yang tidak saja menganggap kecil eksistensi Laskar Hizbullah, bahkan menganggap Laskar Hizbullah hanya menjadi beban dan mengganggu Republik Indonesia.
“Gerakan hijrah itu amat menguntungkan Belanda, baik dilihat dari sudut militer, politik, maupun ekonomi. Meskipun masih ada pasukan-pasukan seperti Hizbullah yang tidak ikut hijrah, namun kekuatan mereka terlalu kecil untuk dapat memberikan perlawanan gerilya yang berarti. Malahan nanti Hizbullah di Jawa Barat menjadi kekuatan yang melawan Republik ketika pasukan Siliwangi kembali ke Jawa Barat dalam Perang Kemerdekaan II. Sebagai pasukan Darul Islam, mereka malahan lebih banyak menyerang TNI daripada Belanda,” kata Sayidiman pada makalah yang disampaikan dalam suatu Seminar Sejarah Militer yang diselenggarakan oleh Yayasan Historia Vitae Magistre.
Menurut Sholeh Iskandar, pendapat Sayidiman itu berbeda atau bertentangan dengan pendapat bekas Panglima Siliwangi, E. Kawilarang, yang pernah bekerjasama dan membawahi taktis pasukan Hizbullah di Jawa Barat.
“Dalam pada itu,” kata Sholeh Iskandar, “perlu diketahui, Batalyon Hizbullah di bawah pimpinan Effendi, Mohammad Kurdi, dan seorang hamba Allah yang lain, sejak semula diakui sebagai mitra TNI dalam waktu perang dan damai, malahan kemudian diakui dan dimasukkan dalam formasi TNI-AD sebagai Batalyon utuh dan penuh dengan memasukkan senjata 1:2.”
Menurut Sholeh Iskandar, formasi Batalyon Hizbullah itu hanya ditambah dengan seorang penghubung bernama Letnan Hasan Selamat. “Lebih jauh kiranya Al-Mukarram Jenderal Sayidiman berkenan membaca pengakuan, catatan, dan laporan resmi militer Belanda, Resiment Jaggers Batalyon 3, mengenai peran Hizbullah dalam perang kemerdekaan,” ujar Sholeh Iskandar.
Sholeh Iskandar pun kemudian menyodorkan fakta ketika daerah lain dikuasai Belanda/Sekutu, keresidenan Banten secara de facto tetap bersama-sama Republik Indonesia. Mereka bahkan membuat mata uang sendiri. Di keresidenan Banten itu, para ulama menempati posisi penting dalam pucuk pimpinan, baik dalam administrasi pemerintahan sipil maupun militer. Sebagai contoh, Bupati Serang adalah KH Sjam’un, Bupati Lebak ialah KH Harun, dan lain-lain. Di daerah Bekasi, Karawang, dan sekitarnya, Komandan Hizbullah dan Sabilillah ialah KH Noer Ali.
Ketika pasukan Siliwangi hijrah ke Yogyakarta, maka praktis Hizbullah dan Sabilillah yang menjaga dan mempertahankan kantong-kantong perlawanan rakyat di seluruh Jawa Barat.
Dalam hubungan dengan Darul Islam (DI) seperti dalam pendapat Sayidiman, menurut Sholeh Iskandar perlu dicatat berlangsungnya pertemuan di Cantayan, Sukabumi, dan pertemuan di Peuteuy, Nanggung, Bogor, membahas sikap terhadap gerakan DI. Setelah pembahasan yang sangat mendalam dan dengan penuh tanggung jawab, diambil keputusan untuk tidak mendukung proklamasi DI, dan melanjutkan perjuangan untuk kepentingan Republik Indonesia.
Namun Sholeh Iskandar mencatat, buku-buku sejarah yang ada, tidak menceritakan perjuangan umat Islam di seluruh Nusantara secara objektif Kalaupun ada, hanya ditatap sepintas dan sambil lalu, sehingga menimbulkan kesan ada usaha-usaha dari golongan tertentu untuk mengaburkan dan menghilangkan peranan umat Islam –dengan para ulamanya—dari pentas sejarah. Menurut Sholeh Iskandar, ini dapat dikategorikan sebagai manipulasi atau penggelapan sejarah.