REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim relawan Aksi Cepat Tanggap (ACT) saat ini masih bertahan di Cox's Bazar, Bangladesh. Bantuan umum yang saat ini diberikan bagi 9.500 pengungsi di sana berupa bantuan pendidikan dan dapur umum.
"Sebanyak 200 anak di pengungsian Bangladesh saat ini diberikan pendidikan secara gratis, tenaga pendidik berasal dari relawan guru setempat yang dibiayai oleh ACT," jelas Vice President ACT Iqbal Setyarso kepada Republika, Jumat (9/12).
Sejak warga Rohingya mengalami penindasan, anak-anak mengalami keterbelakangan pendidikan. Sehingga bantuan pendidikan sangat penting untuk mereka.
Iqbal mengungkapkan saat ini tak ada satupun warga Rohingya yang mampu berbahasa Inggris bahkan bahasa burma sebagai bahasa ibu mereka pun tak paham. Padahal bahasa Inggris dan Burma penting untuk mereka kuasai agar dapat menjadi juru bicara di dunia internasional memperjuangkan hak mereka.
Selain guru bantu, ACT juga berusaha untuk memperbaiki sekolah yang kini tak layak pakai. Sekolah tersebut sudah dibangun empat tahun lalu tetapi mengalami kerusakan parah karena tak ada perawatan.
Bantuan yang saat ini dibutuhkan juga adalah renovasi kamp pengungsian yang sudah tidak layak. Menjelang bulan basah atau musim hujan, mereka perlu merenovasi atap pengungsian dan baju hangat lebih banyak.
Bantuan diberikan di dua titik di Myanmar, Sittwe dan Mangadauw. Sejak awal pengiriman relawan, anak Rohingya yang diberikan pendidikan mencapai 4 ribu anak usia sekolah.
Sedangkan di Bangladesh sebanyak 200 anak. Mereka biasanya menggunakan tempat ibadah untuk sekolah. Saat tidak sedang digunakan untuk shalat maka ruangannya dipakai untuk belajar anak-anak.
Saat ini untuk tim relawan ACT yang berada di Sittwe, Myanmar telah kembali ke Indonesia. Untuk menembus lokasi lain di Maungdaw karena situasi baru saja memasuki musim dingin, pihaknya sedang mengupayakan jalur formal dan tetap mencari alternatif jalur informal untuk memberikan bantuan.
Kondisi Sittwe memang relatif tenang meskipun mirip penjara raksasa, karena seluruh lembaga kemanusiaan di dunia memiliki titik bantuan mereka meski dibatasi hanya bantuan kemanusiaaan. Militer melarang bantuan kepada korban kemanusiaan Rohingya yang sifatnya produktif seperti perkakas untuk bekerja bertani, berkebun maupun alat pertukangan.
"Sebelumnya konflik Rohingya hanya bersifat horizontal antara warga Rakhine dan Rohingya, tetapi kini konflik semakin buruk karena konflik vertikal terjadi dengan ikut campurnya militer yang menyerang warga Rohingya,"jelas dia.
Kedepannya ACT bersama organisasi kemanusiaan Asean berusaha untuk memperluas ruang gerak relawan lebih luas melalui jalur formal. Setelah sebulan, khusus relawan ACT biasanya akan berganti tim.