REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Parlemen Korea Selatan melakukan pemungutan suara pada Jumat (9/12) untuk melakukan pemakzulan terhadap Presiden Park Geun-hye. Park dihadapkan dengan skandal yang memaksanya turun jabatan secara tidak hormat.
Suara anggota Parlemen untuk memakzulkan Park lebih besar dari perkiraan, dengan 234 suara mendukung dan 56 suara menentang. Dengan demikian, sebanyak 60 anggota Parlemen dari partai konservatif Saenuri yang ada di belakang Park, turut mendukung pemakzulan. Sedikitnya perlu 200 suara dari 300 kursi anggota Parlemen agar pemakzulan dapat terlaksana.
Mahkamah Konstitusi harus memutuskan apakah pemungutan suara itu sah. Proses di Mahkamah Konstitusi akan memakan waktu 180 hari. Jika pemakzulan dikabulkan, tugas Park akan digantikan sementara oleh Perdana Menteri Hwang Kyo-ahn, sampai ada keputusan dari pengadilan.
Sembilan anggota Mahkamah Konstitusi dianggap konservatif. Namun, karena kasus Park adalah kasus yang kuat, kemungkinan pemakzulan akan disetujui.
"Saya sungguh-sungguh menerima keputusan Parlemen dan masyarakat, dan saya berharap kebingungan ini akan segera berakhir. Saya akan memberikan tanggapan dengan tenang di bawah prosedur yang sesuai dengan konstitusi dan hukum mengenai pemakzulan oleh Mahkamah Konstitusi dan penyelidikan oleh jaksa khusus," ungkap Park, dalam sebuah pertemuan dengan kabinetnya.
Park, yang sedang menghadapi penyelidikan oleh jaksa khusus, mengatakan pekan ini dia akan menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. Kegembiraan terlihat di luar gedung Parlemen, saat Parlemen mengumumkan hasil pemungutan suara yang mendukung pemakzulan Park. Rakyat Korea Selatan bersuka cita sambil menyerukan "Kemenangan untuk Rakyat" dan "Republik Baru Korea."
Sebelumnya, aktivis anti-Park sempat terlibat bentrok dengan polisi. Mereka mencoba membawa dua traktor hingga gerbang utama gedung Parlemen, tempat lebih dari 1.000 orang pengunjuk rasa berkumpul. Choi Jung-hoon (46 tahun), seorang guru matematika SMA, ikut bergabung dalam unjuk rasa di luar gedung Parlemen. Ia turut serta membawa istri dan anak-anaknya yang berusia 7 bulan dan 18 bulan.
"Saya ingin anak-anak saya berada di sini dan membuat sejarah di saat yang bersejarah, dan menunjukkan bahwa bisa menang," katanya.
Park dituduh berkomplot dengan teman dekatnya bernama Choi Soon-sil dan seorang mantan ajudan. Kedua orang tersebut telah didakwa atas tuduhan pemerasan terhadap perusahaan-perusahaan besar di Korea Selatan untuk memberikan sumbangan ke dua yayasan yang mereka kelola.
Park yang seharusnya menyelesaikan jabatan pada Februari 2018, telah membantah terlibat dalam skandal itu. Ia secara resmi meminta maaf kepada publik atas kecerobohannya berhubungan dengan Choi.
Aksi massa pecah di Seoul setiap Sabtu selama enam pekan terakhir, untuk menuntut Park turun dari jabatannya. Jajak pendapat menunjukkan dukungan publik yang besar terhadap pemakzulan Park.
Kang Dong-wan, profesor dari Dong-A University di Busan, mengatakan pemakzulan bahkan datang dari partai pendukung Park sendiri. Hal itu terjadi karena besarnya tekanan yang datang dari rakyat Korea. "Sepertinya dari Partai Saenuri lebih banyak yang memberi dukungan (terhadap pemakzulan Park), daripada yang menyadari partai bisa runtuh jika anggaran tidak disetujui," ujar Kang.
Perdana Menteri Hwang siap menggantikan tugas presiden sementara, selama proses pengadilan berjalan. Ia mengambil tanggung jawab itu ditengah tingginya ketegangan dengan Korea Utara.
Ia mengatakan, setelah pemungutan suara di Parlemen, kesempatan provokasi yang dilakukan Pyongyang sangat besar. Berbagai instansi, termasuk Kementerian Prancis dan regulator keuangan, merencanakan untuk mengadakan pertemuan darurat pada Jumat (9/12).
Prospek ekonomi Korea Selatan juga memburuk. Sebagian karena ketidakstabilan politik dalam negeri, sebagian lainnya karena kekhawatiran mengenai dampak terpilihnya Presiden AS Donald Trump terhadap kebijakan perdagangan dan urusan luar negeri.
Park akan kehilangan imunitas hukum jika mengundurkan diri dari jabatannya lebih awal. Dia bisa dituntut atas dakwaan penyalahgunaan dan penyuapan. Jajak pendapat yang dilakukan oleh Gallup Korea menunjukkan, 81 persen responden mendukung pemakzulan Park.
Pada 2004, Parlemen juga melakukan pemungutan suara untuk pemakzulan mantan Presiden Roh Moo-hyun. Roh menangguhkan kekuasaannya selama 63 hari, sementara pengadilan memproses. Namun, berbeda dengan kondisi sekarang, publik tidak mendukung pemakzulan itu. "Bahkan ketika tugasnya ditangguhkan, Presiden Roh tetap tinggal di Blue House. Tidak ada yang menciptakan ketegangan yang tidak perlu," ujar mantan Perdana Menteri Goh Kun.