Ahad 11 Dec 2016 12:19 WIB

Cerita Anak-Anak Korban Gempa Aceh Belajar di Pengungsian

Rep: Muhyiddin/ Red: Bilal Ramadhan
Anak-anak pengungsi korban gempa bermain sambil menyanyi bersama Kaka Seto di pengungsian, Pidie jaya, NAD, Jumat (9/12).
Foto: Republika/ Wihdan Hidayat
Anak-anak pengungsi korban gempa bermain sambil menyanyi bersama Kaka Seto di pengungsian, Pidie jaya, NAD, Jumat (9/12).

REPUBLIKA.CO.ID, PIDIE -- Lima hari pasca dilanda gempa, aktivitas di Kabupaten Pidie Jaya berangsur-angsur mulai hidup kembali. Pedagang di pasar sudah mulai berjualan dan para petani sudah mulai menanam padi di sawah.

Namun, hingga saat ini masih banyak warga yang tinggal di posko pengungsian. Salah satunya di posko yang didirikan di Masjid Rimlang, Desa Rimlang, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya.

Berdasarkan pantauan Republika.co.id pada Ahad (11/9) pagi, di pengungsian tersebut terdapat beberapa bocah SD yang tampak belajar, salah satunya Fajar (12). Bocah kelas enam SD tersebut tampak sedang melukis dengan ditemani adik perempuannya, Ataniyah (5).

Saat ditemui kakak beradik tersebut pada awalnya tampak malu-malu, sehingga terasa was-was untuk menfoto wajah mereka. Namun, Fajar akhirnya menjadi sangat suka difoto. Ia ingin menunjukkan bahwa dirinya sedang terkena musibah dan membutuhkan bantuan.

Hingga saat ini, Fajar belum dapat sekolah lagi lantaran masih trauma, sedangkan kegiatan belajar mengajar di sekolahnya juga masih belum dimulai. “Masih trauma, belum bisa sekolah,” ujarnya sembari melukis.

Rumah fajar sendiri tidak roboh akibat guncangan gempa berkekuatan 6,5 skala richter tersebut, rumahnya hanya retak. Namun, saat ini fajar lebih memilih untuk tinggal di pengungsian lantaran masih dibayang-bayangi gempa susulan. “Masih takut kalau pulang ke rumah kak,” ucapnya.

Saat terjadi gempa pada Rabu (7/12), Fajar sebetulnya hari itu akan menempuh ujian semester untuk hari terakhir. Tapi, akibat adanya musibah gempa itu ujiannya tersebut harus ditunda. Ia pun bertekad untuk terus belajar sehingga dapat menghadapi ujiannya yang sempat tertunda tersebut.

Saat itu, ia tampak sedang serius melukis. Beberapa lukisan sudah tampak dibuatnya di atas kertas itu. Namun, kendati pandai melukis tidak membuat fajar ingin menjadi pelukis. Ia justru ingin menjadi seorang polisi, sehingga kelak juga dapat membantu orang yang terkena bencana.

“Iya itu lukisan kapal. Tapi ingin jadi polisi biar bisa batu orang,” kata Fajar sambil menunjuk ke arah lukisannya yang dipajang di tenda.

Di pos pengungsian tersebut tampak sebuah mobil pick up yang sedang menyalurkan bantuan beruapa kebutuhan pokok. Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansah pun sebelumnya juga sudah mengunjungi posko pengungsian tersebut untuk memberikan bantuan kepada para pengungsi.

Saat Khofifah mendatangi posko itu, Fajar mengaku diberikan beberapa alat perlengkapan sekolah. Begitu juga dengan sepupu perempuannya, Naisa Fadila (10). Bocah kelas 5 SD tersebut juga mengaku diberikan tas dan baju sekolah oleh Khofifah. “Kemarin dikasih tas, baju sekolah. Saya sangat senang,” ujar Naisa.

Fajar dan Naisa belajar di sekolah yang sama. Mereka ingin segera kembali sekolah untuk melanjutkan ujian semesternya yang sempat tertunda tersebut. Di ahir permbicangan dengan mereka, Fajar sempat memainkan musik tentara dengan memukul sebuah alat masak panci.

Fajar tampak memainkan musik tentara itu dengan sangat lihai meskipun hanya dengan panci. Musik tersebut terdengar seperti musik yang mengiringi tentara saat melakukan baris berbaris. Fajar memang mempunyai jiwa yang tinggi, tapi ia ternyata memilih untuk menjadi polisi agar bisa membantu orang lain.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement