Selasa 13 Dec 2016 13:44 WIB

Nota Keberatan Ahok Dinilai Jadi Strategi Hukum yang Salah

Rep: Qommarria Rostanti/ Red: Nur Aini
  Terdakwa penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, (13/12).
Foto: Republika/Pool/Tatan Syuflana
Terdakwa penistaan agama, Basuki Tjahaja Purnama menjalani sidang perdana di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Selasa, (13/12).

REPUBLIKA.CO.ID,‎ JAKARTA -- Ketua Dewan Pembina Tim Pengacara Muslim (TPM) Muhammad Mahendradatta mengatakan nota keberatan yang disampaikan Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dalam sidang perdana kasus dugaan penodaan agama dinilai blunder. Hal ini karena isi nota keberatan tersebut sudah seperti nota pembelaan.

Dia meyakini hakim bersikap 'lurus-lurus' saja dan hanya akan menilai keberatan soal dakwaan. "Kalau nanti ditolak, akibatnya nota pembelaan yang akan disampaikan dalam proses selanjutnya tidak akan berarti. Ini strategi beracara yang salah," ujarnya Mahendradatta kepada Republika.co.id, Selasa (13/12).

Tim kuasa hukum Ahok menyampaikan bahwa reaksi terhadap pernyataan Ahok tentang surah Al Maidah ayat 51 muncul setelah video tersebut diunggah oleh Buni Yani. Padahal saat video tersebut diunggah pertama kali oleh Kominfo Pemprov DKI Jakarta sembilan hari sebelumnya, tidak ada reaksi apa-apa dari masyarakat. Mengomentari hal itu, Mahendradatta mengatakan dalam delik pidana yang terdapat pada pasal 156a KUHP, mengetahui atau tidak mengetahui bukanlah sebuah unsur. Begitupun dengan ketahuan atau tidak ketahuan.

Dia menduga tim kuasa hukum Ahok akan menyebarkan opini sesat, misalnya tentang trial by the mob atau pengadilan karena desakan massa. "Ini sebuah kebiasaan yang dilakukan musuh-musuh umat Islam. Kejadiannya selalu umat Islam dipojokkan karena bereaksi atas adanya aksi. Sementara aksinya sendiri ditutup-tutupi. Jangan tutupi aksi dengan reaksi," kata dia.

Kepolisian disarankan segera menahan Ahok. Hal ini karena dalam sejarah hukum di Indonesia, tidak ada satupun tersangka penistaan atau penodaan agama yang tidak ditangkap, kecuali Ahok. Menurut dia, ini membuktikan bahwa sudah ada privilege atau hak istimewa untuk Ahok. Kepolisian sudah menjelaskan alasan tidak menahan Ahok, yakni karena mantan Bupati Belitung Timur tersebut kooperatif dan tidak akan menghilangkan barang bukti.

Namun, kata Mahendradatta, ada satu lagi alasan yang harus dipertimbangkan polisi yakni tidak mengulangi tindak pidana. Namun hal itu dilanggar Ahok. "Beberapa jam setelah ditetapkan sebagai tersangka, dia mengulangi lagi dengan menyebut peserta 411 massa bayaran. Tetapi tetap tidak ditahan," kata dia.

Pihaknya tidak dapat menerima alasan kepolisian tidak menahan Ahok. Padahal setelah menuduh peserta 411 sebagai massa bayaran, ada laporan baru terhadap Ahok. Artinya, kata dia, ada tindak pidana lagi yang dilakukan Ahok saat dia sudah ditetapkan sebagai tersangka.

Pengacara senior yang pernah menangani kasus Ambon dan Poso tersebut meminta kuasa hukum Ahok tidak 'marah-marah' dan menyalahkan reaksi masyarakat. Menurutnya, reaksi tersebut muncul atas aksi yang dilakukan Ahok sendiri. "Alhamdulillah reaksinya masih bagus dan damai. Bukan marah-marah seperti penasihat hukumnya," ujar Mahendradata.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement