REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA -- Sebanyak 260 santri dari lima kabupaten dan kota di DI Yogyakarta (DIY) mengikuti ajang Musabaqah Qiroatil Kutub (MQK) atau musabaqah khusus kitab kuning. Kegiatan ini digelar oleh Kanwil Kementrian Agama DIY di Pondok Pesantren Al Imdad II, Pajangan, Bantul, Selasa (13/12).
"Kegiatan ini kita gelar secara rutin setiap tahun untuk meningkatkan minat santri dalam mempelajari dan mengkaji Kitab Kuning sebagai ciri khas pondok pesantren," ujar Kasie Pondok Pesantren Kanwil Kemenag DIY, Fathurrohim kepada Republika.co.id.
Menurutnya MQK ini memperlombakan kemampuan santri di DIY dalam membaca, menerjemahkan dan menjelaskan isi Kitab Kuning. Selain itu juga ada lomba Bahasa Arab dan Bahas Inggris antarsantri di DIY. MQK terbagi dalam 24 kategori lomba sesuai umur yang dikelompokkan dalam kelompok pemula (ula), menengah (wustho) dan dewasa (ulya).
Kelompok pemula adalah santri yang usianya maksimal 13 tahun, kelompok menengah santri yang usianya maksimal 16 tahun dan dewasa atau lanjutan adalah kelompok santri yang usianya maksimal 19 tahun. Lomba diikuti oleh kelompok putra dan putri sesuai kategori umur. Santri yang lolos dalam lomba tersebut nanti akan dikirim mewakili DIY untuk mengikuti MQK tingkat nasional yang digelar tiga tahun sekali.
"Tingkat kesulitan kita sesuaikan dengan kelompok usianya, tidak sama antara kelompok pemula, menengah atau lanjutan," ujarnya.
Diakui Fathurrohim, saat ini banyak santri hanya fokus pada buku pelajaran sekolah saja dan kurang fokus mempelajari kitab kuning. Padahal kitab kuning merupakan ciri khas pengajaran di pondok pesantren. Karenanya untuk meningkatkan minat dan kualitas pelajaran kitab kuning di pesantren, pihaknya rutin menggelar MQK setiap tahun sekali.
Hasilnya meskipun jumlah pondok pesantren di DIY hanya 250 pondok, namun jumlah santri yang memiliki kemampuan membaca, mempelajari dan menjelaskan isi kitab kuning cukup banyak. Bahkan banyak santri di DIY yang mampu menjuarai event nasional di bidang ini.
"Kitab kuning ini adalah ciri khas pesantren, sehingga membaca, mempelajari dan memahaminya menjadi hal yang tidak bisa dipisahkan dari kegiatan pesantren," ujarnya.