REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pegawai beragama Islam dinilai berhak menolak atau menerima pemakaian atribut Natal apabila diperintahkan oleh perusahaan tempatnya bekerja. Pemaksaan atau pelarangan atribut keagamaan tertentu bertentangan dengan prinsip dasar kebebasan beragama di Indonesia. Artinya, bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) 1945 dan Pancasila.
"Bila penolakan mereka berakibat kepada upaya pemberian sanksi oleh perusahaan, terang perusahaan telah melanggar undang-undang dan bisa dipidanakan," kata Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah, Dahnil Anzar Simanjuntak, kepada Republika.co.id, Rabu (14/12).
Meski begitu, kata Dahnil, soal pemakaian atribut Natal terhadap pegawai Muslim tidak memerlukan fatwa dari Majelis Ulama Indonesia (MUI). "Cukup imbauan dari MUI sebagai nasihat bagi umat terkait syariat menggunakan simbol-simbol keagamaan lain di luar Islam dan bagaimana bersikap toleransi yang otentik, bukan toleransi yang penuh kepalsuan dan simbolik yang miskin makna substantif," kata dia.
Di lain pihak, menurut dia, pemerintah bertanggung jawab untuk menyampaikan kepada publik tentang hak umat beragama menjalankan dan merayakan kebebasan beragama dengan bertanggung jawab dan tidak melanggar konsensus bersama sebagai bangsa dan negara, yakni Pancasila dan UUD NRI 1945.
Begitu pula saat Ramadhan atau Idul Fitri. Perusahaan juga sebaiknya tidak memaksakan penggunaan atribut Islam terhadap pegawai non-Muslim. Kecuali apabila mereka memang mau mengenakan atribut agama lain atas kemauan sendiri dan tanpa paksaan.
Dahnil mengatakan, Islam itu mudah lagi memudahkan. Tidak ada paksaan dalam ber-Islam. Dakwah Islam adalah mengajak dengan kesadaran diri, bukan memaksa, itulah substansinya.
Menjelang Natal, biasanya pun akan ada pro dan kontra perihal ucapan 'Selamat Natal'. Dahnil berpendapat, perdebatan tersebut tidak produktif dan terus berulang setiap tahun. Baginya, toleransi harus otentik, bukan mensimplifikasi mereka yang tak mengucapkan 'Selamat Natal' antitoleransi, atau mereka yang mengucapkan natal sangat menjaga toleransi.
"Bila begitu, maka dangkal sekali makna toleransi yang kita bangun, hanya sekadar tentang ucapan selamat," kata Dahnil.
Sejatinya, ujarnya, toleransi dibangun dengan konstruksi yang lebih substansial, yakni bagaimana memahami hak hidup dan hak beragama orang lain, dan saling menghormati dan bergembira dengan perbedaan-perbedaan itu.