Rabu 14 Dec 2016 13:59 WIB

Sejumlah Perusahaan Teknologi Ogah Bantu Trump Bangun Pusat Data

Presiden terpilih AS Donald Trump.
Foto: AP
Presiden terpilih AS Donald Trump.

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Lebih dari 200 orang pegawai dari sejumlah perusahaan teknologi termasuk Google milik Alphabet Inc, Twitter Inc dan Salesforce mengatakan pada Selasa (13/12) tidak akan membantu pemerintahan Presiden terpilih Donald Trump terkait kebijakan pendataannya dan deportasi.

Terkait kebijakan itu, mereka tidak akan membantu pemerintahannya untuk membuat sebuah pusat data untuk membantu melacak orang-orang berdasarkan agama mereka atau membantu mereka dalam deportasi massal. Mengambil perbandingan dari kejadian Holocaust dan pengasingan warga Amerika asal Jepang pada saat Perang Dunia II, para pegawai itu menandatangani sebuah surat terbuka di neveragain.tech yang mengungkapkan kekecewaan terhadap gagasan yang diajukan Trump saat kampanye.

Aksi protes itu, yang dimulai dengan sekitar 60 tanda tangan namun mendapatkan tiga kali lipatnya setelah dikeluarkan dalam beberapa jam, dikeluarkan satu hari sebelum beberapa petinggi perusahaan teknologi dijadwalkan akan mengadakan pertemuan dengan Trump di New York.

"Kami memilih berdiri dalam solidaritas dengan para warga Amerika Muslim, imigran, dan semua orang yang kehidupan dan mata pencahariannya terancam oleh gagasan kebijakan pengumpulan data pemerintahan itu," surat itu menuliskan, yang ditandatangani oleh para insinyur, perancang dan petinggi bisnis.

Surat itu juga mengatakan: "Kami menolak membangun sebuah pusat data orang-orang berdasarkan kepercayaan keagamaan mereka yang dilindungi oleh konstitusi. Kami menolak memfasilitasi deportasi massal orang-orang yang diduga tidak diinginkan oleh pemerintah."

Surat itu berjanji tidak ikut serta dalam pembuatan pusat data informasi identifikasi untuk pemerintah AS dengan dasar ras, agama maupun asal kewarganegaraan, untuk meminimalisir pengumpulan atau penyimpanan data yang dapat memfasilitasi tidakan itu, dan untuk menentang segala penyalahgunaan data yang para perusahaan itu pandang sebagai hal yang ilegal atau tidak etis.

Trump berselisih dengan Silicon Valley terkait beberapa isu saat kampanye, termasuk imigrasi, pengawasan pemerintah dan enkripsi, dan kemenangannya bulan lalu memberi kekhawatiran sejumlah perusahaan, yang mengkhawatirkan dia akan menjalankan janji-janjinya.

Kekhawatiran tersebut belum mereda dalam beberapa minggu terakhir, saat trump mengatakan dia berniat menunjuk sejumlah orang untuk menduduki posisi tinggi dalam pemerintahannya yang pro terhadap perluasan program pengawasan.

Petinggi Utama Alphabet, Larry Page, Direktur Utama Apple Inc Tim Cook, Kepala Operasi Facebook Inc Sheryl Sandberg dan Pemimpin Amazon.com Inc Jeff Bezos serta Pemimpin Oracle Corp Safra Catz berada di antara mereka yang diperkirakan akan menghadiri pertemuan dengan tim transisi Trump, menurut dua sumber industri teknologi.

Tim transisi Trump belum memberikan komentar terkait surat terbuka itu.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement