Kamis 15 Dec 2016 09:11 WIB

Gede Eka Riadi, Penari yang Jadi Duta Budaya di Australia

I Gede Eka Riadi, penari Bali yang jadi duta budaya di KBRI Canberra, Australia.
Foto: ABC
I Gede Eka Riadi, penari Bali yang jadi duta budaya di KBRI Canberra, Australia.

REPUBLIKA.CO.ID, CANBERRA -- Kemampuannya menari membawa Gede Eka Riadi dari seorang penari menjadi Duta Budaya yang bekerja di Kedutaan Besar RI di Canberra, Australia. Jane Ahlstrand menuliskan perjalanan Gede dari Bali sampai ke Australia.

Menjadi seorang seniman memang harus sabar, tabah, dan berjiwa besar. Dengan sikap idealis, sayangnya, tidak banyak seniman asal Indonesia mempunyai karier yang baik dan stabil, apalagi yang bisa meraih sukses di kancah internasional. I Gede Eka Riadi, seorang penari Bali yang lahir dari keluarga sederhana di Desa Kapal, Mengwi, Bali tidak pernah berpikir dia bisa menempuh karier sebagai penari profesional, apalagi di luar negeri.

Namun, berkat sikap jujur, kerja keras dan dukungan guru, keluarga dan teman-teman, Gede telah berhasil dipilih menjadi seorang duta seni budaya Indonesia di luar negeri. Sekarang Gede bekerja sebagai Cultural Officer di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Canberra, Australia.

Gede menghabiskan masa kecil di tengah suasana pedesaan. “Bapak saya bekerja sebagai penjahit baju adat Bali yang sehari-harinya dibantu oleh Ibu,” kata Gede.

Hidup di desa dengan penghasilan orang tua yang pas-pasan membuat Gede harus berjuang membantu orang tua supaya bisa memenuhi kehidupan keluarga. Karena Ibunya mengalami gangguan kesehatan yang cukup berat, Gede harus membantu Bapak untuk membeli perlengkapan kebutuhan alat jahit baju.

“Kami harus hidup irit, kemana-mana jalan kaki, dan kadang saya harus ikut membatu Ibu mencari kayu bakar serta kelapa jatuh di hutan untuk kemudian dijual,” kata Gede.

Gede pertama kali belajar tari Bali semenjak duduk di bangku kelas tiga SD di Sanggar Yudhistira, salah satu sanggar tari tradisional di desa Kapal di bawah asuhan guru Anak Agung Sudarma. “Pada waktu itu Bapak saya menawarkan kepada saya apakah saya mau ikut belajar tari di sanggar, karena Bapak saya melihat saya senang menari. Ketika saya mendengar suara gamelan, tangan dan kaki saya mulai bergerak sendiri,” jelasnya.

Waktu pertama kali diberikan kesempatan untuk belajar tari Bali secara resmi, Gede mengalami perasaan nikmat yang luar biasa, apalagi dengan banyak sekali jenis tarian Bali yang dapat dipelajari di sana. Belajar tari Bali memang menjadi sumber kesenangan bagi Gede. “Entah kenapa saya suka tari Bali. Di keluarga saya tidak ada yang hobi menari. Kata Ibu saya, ada keturunan darah seni di keluarga kami, yaitu almarhum kakek saya,” katanya.

Di sanggar, banyak teman yang seangkatan tidak melanjutkan studinya sampai selesai. “Karena mungkin merasa malu dan sering dibilang banci kalau seorang laki-laki belajar tari,” katanya.

“Namun saya berpikiran untuk tetap dan terus belajar. Karena dari menari saya merasa punya sesuatu lebih dalam diri saya, dan bisa membuat orang senang melihat saya dan saya pun ikut merasa senang dan ingin menjadi seorang seniman tari,” imbuhnya.

Jane Ahlstrand dan Gede Eka Riadi dalam salah satu pertunjukkan tari di Australia
Jane Ahlstrand dan Gede Eka Riadi dalam salah satu pertunjukan tari di Australia.

Walaupun kecintaan terhadap seni tari Bali sangat kuat, melihat kemampuan orang tua dengan penghasilan yang pas-pasan, Gede tidak pernah menyangka bisa menempuh pembelajaran tari sampai ke tingkat universitas.

Masuk universitas lewat audisi

Tetapi atas saran Guru tari dan beberapa orang teman dekat, Gede akhirnya mendaftar di ISI Denpasar pada 2002 dengan proses audisi. “Ternyata di sana tidak memerlukan biaya yang banyak karena memang dibutuhkan orang yang mau memperdalam tari dan juga ada banyak beasiswa yang diberikan oleh kampus untuk mahasiswanya,” kata Gede.

Berkat bantuan dari Bibi, Gede dipinjamkan uang sebesar Rp 5 juta untuk biaya masuk ISI Denpasar. Di ISI Gede belajar selama empat tahun pada Fakultas Seni Pertunjukan jurusan Seni Tari. Banyak ilmu, teman, pengalaman yang Gede dapatkan selama kuliah di ISI. Mulai dari belajar olah tubuh, teknik tari Bali, Jawa, Nusantara, sampai belajar tari kontemporer.

“Pengalaman paling menarik yaitu ketika saya mendukung karya ujian akhir kakak kelas. Saya harus latihan setiap hari dari pagi hingga malam hari. Hampir tidak mengenal rumah, karena bangun tidur di area kampus. Tidak ada bayaran apa pun kecuali diberi kue dan nasi bungkus. Tapi dari situ pertemanan dan persahatan satu sama lain terjalin dengan baik, yaitu saling membantu,” jelasnya.

Gede menyelesaikan kuliah S1 pada 2007. Setelah dinyatakan lulus, Gede sempat mengalami kebingungan dan kesulitan waktu mencari pekerjaan. “Karena seniman sifatnya idealis dan senang membantu orang, kita lebih senang karyanya dihargai daripada dibeli dengan uang tapi tidak dihargai,” katanya.

Makanya, untuk sementara itu Gede ikut tawaran menari dari teman dan beberapa grup yang sudah punya kontrak tetap di hotel. Dalam masa perjuangan itu, Gede sempat menjadi penari modern, menari Bali dengan bayaran murah, menari Hip Hop, sampai ikut kelompok fire dance.

“Menjadi seorang penari bayaran sangat melelahkan karena harus kerja pada malam hari, mulai pukul 20.00 dan selesai pukul 02.00 pagi dini hari,” kata Gede. Jika tidak ada tawaran menari Gede terpaksa nganggur dan kadang-kadang tidak mempunyai uang untuk biaya makan sehari-hari.

Pada suatu hari, perjalanan hidup Gede mulai berubah waktu dia mendapat info dari guru tarinya bahwa Kementerian Luar Negeri, Jakarta sedang mencari tenaga pengajar seni budaya untuk ditempatkan di beberapa perwakilan RI di luar negeri.

Gede disarankan untuk mencoba melamar. “Pertamanya saya ragu, karena merasa kemampuan saya kurang. Saya tidak bisa berbahasa Inggris, komputer, mengendarai mobil dan belum pernah punya pengalaman ke luar Negeri. Jangankan ke luar Negeri, ke luar Bali saja jarang,” kata Gede sambil tertawa.

Gede sudah suka menari sejak masih kecil
Gede sudah suka menari sejak masih kecil

Waktu itu Gede mendapat dorongan dari banyak pihak, termasuk teman, orang tua, dan ketua sebuah sanggar seni di Celuk yang bernama Pak Ketut Widi. “Beliau mendorong saya untuk daftar dan membantu saya dalam membuatkan surat lamaran, daftar riwayat hidup dan membantu membuatkan email serta mengirim dokumen via fax,” kata Gede.

Setelah dokumen dikirim, akhrinya Gede dipanggil oleh staf Kemlu untuk datang ke Jakarta untuk mengikuti tes. Itu merupakan pengalaman yang luar biasa bagi Gede. “Saya harus naik pesawat ke Jakarta sendirian, ikut tes, dan tinggal di Jakarta selama tiga hari. Sempat ragu untuk pergi karena saya tidak punya teman atau keluarga di Jakarta,” katanya. 

“Saya kurang begitu yakin saya bisa lolos seleksi pegawai setempat. Tapi berkat doa dan kerja keras, akhirnya saya mendapat info dari Kemlu Jakarta saya lulus seleksi dan diterima menjadi pegawai setempat bidang seni budaya di KBRI Canberra, Australia,” jelasnya.

Akhirnya Gede mulai menempuh hidup baru di Australia dan sekalian mulai proses penyesuaian diri. Di Canberra, Gede belajar banyak dari atasan, teman, dan pergaulan dengan orang Australia. Mulai dari Bahasa Inggris, mengendarai mobil, disiplin dalam berlalu lintas, menggunakan komputer, birokrasi dan administrasi, sampai mengenal caranya bermain golf.

“Banyak hal yang bisa dipetik dari pengalaman ini karena salah satu tugas utama saya adalah memperkenalkan tradisi dan seni budaya Indonesia kepada para siswa/siswi Australia dan orang Australia yang belajar tentang Bahasa dan Budaya Indonesia,” kata Gede.

Untuk para seniman muda Indonesia, Gede berharap mereka berusaha untuk lebih membuka wawasan ke depan dalam memperkenalkan seni budaya Indonesia di kancah International. “Jangan hanya tergantung pada kegiatan di dalam negeri tetapi juga harus mau mencoba mempromosikan seni budaya Indonesia ke luar negeri baik itu lewat misi kesenian, menjadi tenaga pengajar di suatu universitas, menjadi duta budaya atau memberikan workshop seni kepada orang asing."

"Tidak harus secara resmi. Bisa mulai dengan pendekatan informal,” kata Gede. Gede juga menyayangkan tidak banyak yang berani merantau ke luar negeri dengan alasan tidak pede. “Padahal dia bisa dan mampu untuk melakukan itu,” tegasnya.  “Semua orang pasti bisa, asal dengan niat, doa, serta kemauan hati yang tulus, you can do it!”.

Semoga pengalaman Gede ini bisa diambil hikmahnya dan menjadikan teman-teman seniman muda Indonesia lebih giat berkreativitas dan berkarya demi mempertahankan warisan seni budaya leluhur kita.

* Tulisan ini adalah versi bahasa Indonesia dari artikel dalam bahasa Inggris di Jembartan, sebuah blog yang menghubungkan Indonesia dan Australia melalui kesenian.

* Jane Ahlstrand adalah mahasiswa S3 Universitas Queensland yang sedang melakukan penelitian mengenai Indonesia, dan sudah lama mengenal dan mempromosikann kesenian Indonesia di Australia.

sumber : http://www.australiaplus.com/indonesian/sosok/gede-eka-riadi:-dari-menari-saya-merasa-punya-sesuatu-lebih-dal/8118930
Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَلَقَدْ اَرْسَلْنَا رُسُلًا مِّنْ قَبْلِكَ مِنْهُمْ مَّنْ قَصَصْنَا عَلَيْكَ وَمِنْهُمْ مَّنْ لَّمْ نَقْصُصْ عَلَيْكَ ۗوَمَا كَانَ لِرَسُوْلٍ اَنْ يَّأْتِيَ بِاٰيَةٍ اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۚفَاِذَا جَاۤءَ اَمْرُ اللّٰهِ قُضِيَ بِالْحَقِّ وَخَسِرَ هُنَالِكَ الْمُبْطِلُوْنَ ࣖ
Dan sungguh, Kami telah mengutus beberapa rasul sebelum engkau (Muhammad), di antara mereka ada yang Kami ceritakan kepadamu dan di antaranya ada (pula) yang tidak Kami ceritakan kepadamu. Tidak ada seorang rasul membawa suatu mukjizat, kecuali seizin Allah. Maka apabila telah datang perintah Allah, (untuk semua perkara) diputuskan dengan adil. Dan ketika itu rugilah orang-orang yang berpegang kepada yang batil.

(QS. Gafir ayat 78)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement