REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) Pradana Boy baru saja mendapatkan kesempatan sebagai international fellow in interreligious dialogue oleh King Abdullah bin Abdulaziz International Center for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID) yang berpusat di Wina, Austria.
KAICIID didirikan oleh empat pemerintahan yaitu Pemerintah Saudi Arabia sebagai penyandang dana utama, didukung Pemerintah Republik Austria, Kerajaan Spanyol, dan Tahta Suci Vatikan.
“Istilah international fellow sendiri memang agak sulit diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia secara tepat. Namun, jika dilihat konteksnya, saya berperan sebagai duta perdamaian antaragama internasional,” terang Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat UMM ini.
Pradana Boy akan mengemban tugas ini selama satu tahun. Pertemuan pertama sudah berlangsung beberapa pekan lalu, yaitu pada 26 November hingga 5 Desember 2016 lalu di Wina yang melibatkan para pemimpin agama dunia.
Pertemuan selanjutnya dilakukan di Bali sekitar Maret dan April 2017. Setelah pertemuan kedua di Bali, masing-masing duta akan mendapatkan tugas untuk menyelenggarakan kegiatan yang bermuara kepada dialog antaragama dan perdamaian agama dengan dukungan penuh dari KAICIID.
“Pada pertemuan pertama, kami secara intensif membicarakan persoalan-persoalan penting yang sering menjadi penghalang terjadinya hubungan yang harmonis antaragama dan kebudayaan di dunia. Di sini, para pemimipin agama dunia dipersilahkan mengemukakan pandangan mereka selama ini terhadap agama lainnya,” kata Pradana.
“Misalnya, peserta dari agama Hindu dan Budha dipersilahkan mengemukakan pandangannya tentang Islam. Demikian pula perwakilan Islam, diberikan kesempatan yang sama mengonfirmasi soal-soal sensitif pada peserta dari Yahudi, Nasrani, Budhisme, dan Hinduisme,” papar doktor lulusan National University of Singapore (NUS) ini.
Pranada menjelaskan, suasana forum berlangsung dialogis tetapi sesekali bisa memicu ketegangan. Misalnya, lanjutnya, hampir semua peserta dari non-Islam selalu mempertanyakan tentang kesan Islam sebagai agama pembawa kekerasan. Demikian juga, ada pula yang menanyakan tentang seluk beluk hukum Islam, termasuk hukum qishash, misalnya.
Isu-isu sensitif lain juga tidak lepas dari perbincangan, seperti soal konflik Palestina-Israel, atau isu tentang pembantaian ras (genocide) di Myanmar. Namun, karena tujuan utama adalah mencari jalan keluar dan mengampanyekan perdamaian, munculnya isu-isu sensitif itu tidak sampai mengganggu jalannya dialog.
Dari Indonesia, selain Pradana, yang juga terpilih sebagai international fellow yaitu Alissa Qatrunnada Munawaroh atau sering dikenal dengan nama Alissa Wahid, putri pertama mantan Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid atau Gus Dur.
Kedua tokoh Muslim ini terpilih sebagai duta internasional bersama 22 tokoh lainnya yang berasal dari Amerika Serikat, Kanada, Perancis, Belanda, Lebanon, Saudi Arabia, India, Nigeria, Uganda, Bangladesh, Tanzania, Rwanda, Filipina, dan Myanmar. Selain mewakili agama-agama yang sudah populer di Indonesia yaitu Islam, Kristen, Hindu, Budha, ada pula perwakilan dari Yahudi dan Sikhisme.
Melalui kegiatan ini, kata Pradana Boy, peluang melibatkan Muhammadiyah sangat besar. “Muhammadiyah merupakan organisasi Islam moderat yang menyerukan perdamaian dan toleransi intra dan antaragama. Jadi sangat sejalan dengan program ini,” kata Pradana.
Setelah rangkaian kegiatan yang berlangsung di sejumlah negara, tim ini juga akan kembali bertemu secara formal untuk terakhir kalinya di Wina, Austria, pada akhir 2017. Meskipun secara resmi program ini berakhir, sebenarnya tugas besar para duta internasional perdamaian dan dialog antaragama ini tidak berhenti di situ.
Karena, pada tahap berikutnya, mereka akan tergabung dalam jaringan International KAICIID Fellow Network yang bertugas untuk mempromosikan perdamaian antaragama melalui berbagai cara.
Salah satunya adalah pertukaran kuliah. Dalam arti, seorang fellow dari agama tertentu akan diundang untuk memberikan kuliah kepada komunitas yang bukan dari agamanya untuk mengurai berbagai kesalahfahaman dan prasangka yang seringkali mewarnai hubungan antaragama.
“Salah satu faktor penghalang kedamaian dan hubungan harmonis antaragama adalah prasangka dan kesalahfahaman. Hanya dengan dialog intensif, keduanya bisa diatasi dan kedamaian serta hubungan harmonis antaragama bisa dicapai,” tutup Pradana.