REPUBLIKA.CO.ID, ZURICH -- Pengadilan tertinggi Swiss menolak usulan pelarangan pendirian Pusat Studi Islam di sebuah universitas yang dibiayai negara, Rabu (14/12). Hakim membatalkan permohonan referendum yang diajukan partai politik antipengungsi. Pengadilan menyatakan, permintaan tersebut diskriminatif.
Pusat Kajian Islam dan Masyarakat Universitas Fribourg, Swiss dibuka awal 2015 lalu untuk meningkatkan pemahaman publik terhadap Islam di negara itu. Namun Partai Rakyat Swiss (SVP) langsung mengajukan permohonan referendum untuk melarang pendiriannya.
Pusat studi itu berada di bawah Departemen Teologi universitas, dan dibiayai Departemen Bidang Pendidikan, Riset, dan Inovasi Federal. Anggota dewan daerah Maret tahun ini menyatakan, usulan SVP tidak sah. Akan tetapi partai itu mengajukan banding.
Empat dari lima hakim yang mengadili perkara itu di Pengadilan Federal Swiss di Lausanne, Rabu mendukung, keputusan pemerintah daerah. Salah satunya menolak usulan referendum di wilayah yang mengasingkan satu agama tertentu secara ilegal. "Usulan itu inkonstitusional karena judul berikut isi di dalamnya secara langsung merujuk ke Islam," kata hakim.
Meski SVP menguasai sekitar 30 persen anggota dewan daerah di Berne, perwakilan partai sayap kanan itu di parlemen Fribourg hanya ada setengahnya. Sekitar 85 persen penduduk Fribourg, tempat asal keju Gruyere, menganut Kristen Katolik atau Protestan. Jumlah penganut Muslim terbilang cukup sedikit.
Dua pertiga dari 8,3 juta warga Swiss menganut agama Kristen. Namun, negara itu, mulai memikirkan pengaruh Islam, mengingat populasi Muslim meningkat sebanyak lima persen, disebabkan kedatangan pengungsi dari bekas negara, Yugoslavia.
Meski pusat studi Islam itu tidak menyediakan kurikulum untuk melatih seorang imam masjid, Kepala Universitas Fribourg, Astrid Epiney mengatakan sejumlah pemimpin agama Islam dapat mengajar atau mengadakan sesi pelatihan. "Pusat studi ini dapat melanjutkan kegiatannya yang telah memiliki kepastian hukum," kata Epiney merujuk ke keputusan sidang.