REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI), Said Iqbal menyatakan, buruh merasa kecewa dengan putusan Mahkamah Konstituti (MK) yang menolak seluruh permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak. Buruh menilai Undang-Undang Pengampunan Pajak adalah 'pintu masuk' bagi para konglomerat hitam.
"Seperti pengemplang dana bantuan likuiditas Bank Indonesia, Bank Century dan pengemplang pajak lain untuk 'membersihkan' harta ilegal mereka," kata Iqbal melalui pesan singkatnya di Jakarta, Kamis (15/12).
Iqbal mengatakan, tujuan awal yang menjadi argumentasi pemerintah memberlakukan amnesti pajak adalah menarik dana yang terparkir di luar negeri atau repatriasi. Namun, capaian dana repatriasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Akhirnya, pemerintah mulai menyisir pengemplang pajak di dalam negeri untuk mengejar dana yang ada di dalam negeri atau deklarasi. Bahkan, Iqbal menyebut pemerintah sampai mengejar usaha mikro, kecil, dan menengah, pegawai negeri, seniman dan buruh untuk memenuhi target dana deklarasi dan uang tebusan.
Dengan kondisi tersebut, Iqbal menilai Undang-Undang Pengampunan Pajak pada akhirnya menyasar orang yang selama ini taat membayar pajak dan tetap mengampuni para pengemplang pajak. "Bahkan, buruh yang selama ini taat membayar pajak pun harus kalah saat mengajukan uji materi ke MK," ujarnya.
Iqbal mengatakan, pemerintah masih saja kebingungan tentang penerimaan dalam APBN. Padahal sudah menjalankan amnesti pajak sebagaimana Undang-Undang Pengampunan Pajak yang sudah diberlakukan.
Menurut Iqbal, uang tebusan dan deklarasi yang disebut mencapai Rp 4.000 triliun tidak bisa menutup defisit anggaran dalam APBN dan dana repatriasi tidak bisa meningkatkan investasi. "Karena itu, buruh menilai hakim konstitusi tidak memiliki dasar untuk menolak seluruh permohonan uji materi yang diajukan pemohon," katanya.