REPUBLIKA.CO.ID, JEDDAH -- Laporan Keuangan Syariah menunjukan pertumbuhan ekonomi syariah pada 2016 menurun dibandingkan 2015 lalu. Pertumbuhan ekonomi syariah pada tahun ini tercatat 8,8 persen, menurun sekitar 1,1 persen dari tahun sebelumnya yang tercatat sebesar 9,9 persen.
Sebelumnya, Konferensi World Islamic Banking di Bahrain kemarin menunjukkan bahwa pengembangan sektor swasta pada pertumbuhan ekonomi syariah memang melesu. Malaysia, Bahrain, dan UEA terus mendominasi pertumbuhan indikator pembangunan keuangan syariah atau Islamic Finance Development Indicator (IFDI) selama tiga tahun berturut turut ini. Namun, Malaysia mencatat kinerja IFDI keseluruhan pada 2016 melemah dibanding tahun sebelumnya.
CEO ICD, Khaled Al Aboodi mengatakan saat ini Afrika Barat dan Afrika pada umumnya memiliki potensi yang tinggi dalam pertumbuhan ekonomi syariah. Hal ini ia nilai bisa menjadi salah satu potensi penting di tengah kondisi komoditas global yang masih buruk.
Khaled mengatakan ekonomi syariah memerlukan dana untuk memperbaiki defisit infrastruktur yang cukup besar dan kekurangan pendapatan. Khaled mengatakan perlu ada dorongan kepada Afrika agar mereka bisa membantu pembiayaan melalui sukuk dan membuka jalan bagi pengembangan industri keuangan syariah.
"Perlu adanya dorongan agar bisa semakin berkembang. Terutama pada pengembangan pasar modal di negara yang baru melakukan ekonomi syariah," ujar Khaled seperti dilansir dari Reuters, Kamis (15/12).
Di sisi lain, menurunnya pertumbuhan ekonomi syariah juga didukung dengan penurunan harga minyak dan menurunnnya kinerja keuangan negara yang memberlakukan sistem ekonomi syariah.
"Hal ini juga mengakibatkan pertunjukan ekuitas negatif untuk berbagai lembaga keuangan syariah yang terdaftar, terutama dalam ekuitas takaful dan syariah yang juga membuat bagian dari portofolio dana Islam. Sukuk adalah yang paling rentan dari kelas aset, namun sektor ini menyaksikan volume penerbitan yang lebih rendah pada tahun 2015," ujar Khaled.